Bagaimana Konsep Pendidikan Anak

KONSEP PENDIDIKAN ANAK   A.     Pengertian Pendidikan Anak Istilah pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu pada term a l ...

Selasa, 06 Desember 2016

Makalah Kaidah Ushuliyah

MAKALAH
KAIDAH USHULIYYAH

Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah: Ushul Fiqh
Dosen Pengampu: Ali Muhtarom, M, S. I
Disusun Oleh :
Muhammad Faidlullah                                    (2021215504)
Mudhofar                                                         (2021215517)

Kelas L
JURUSAN TARBIYAH / PAI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PEKALONGAN
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ushul Fiqh sebagai cabang ilmu yang selalu berkutat dengan hukum pastinya memiliki pedoman. Pedoman atau yang disebut dengan kaidah tersebut menjadi pegangan yang harus dipelihara oleh para mustanbith dalam menggali hukum, baik dari nash maupun dari yang tidak ada nashnya.
Alasan mengapa harus memelihara kaidah ini tidak lain adalah agar hukum yang akan dipilih sesuai dengan tujuan Syari’ yaitu kemaslahatan manusia.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Kaidah Ushuliyah?
2.      Apa pengertian Kaidah Fiqhiyyah?
3.      Apa perbedaan antara Kaidah Ushuliyah dan Kaidah Fiqhiyyah?
4.      Apa contoh Kaidah Ushuliyyah?
C.     Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui pengertian Kaidah Ushuliyah
2.      Mengetahui pengertian Kaidah Fiqhiyyah
3.      Mengetahui perbedaan antara Kaidah Ushuliyah dan Kaidah Fiqhiyyah
4.      Mengetahui contoh Kaidah Ushuliyyah






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Kaidah Ushuliyah
1.      Pengertian
Qowaaid adalah bentuk jama’ dari qaaidah, qaaidah adalah sesuatu yang dijadikan pijakan atau pegangan.[1]
Kaidah Ushuliyyah adalah kaidah-kaidah hukum yang timbul dari lafal atau nash. Contohnya seperti kaidah yang menyebutkan bahwa perintah menunujukkan kewajiban, larangan menunjukkan keharaman, dan lafal-lafal tertentu bisa menerima nasakh.[2]
Sedangkan Kaidah Fiqhiyyah adalah Kaidah-kaidah yang bisa membatasi cabang-cabang ilmu fiqh yang sangat luas. Kaidah Fiqhiyyah juga mencakup berbagai rahasia hukum syara’ dan hikmahnya.
2.      Perbedaan Kaidah Ushuliyah dan Kaidah Fiqhiyyah
            Kaidah Fiqhiyyah berbeda dengan Kaidah Ushuliyyah. Meskipun keduanya memiliki peran dan tujuan yang sama, yaitu sebagai metode ijtihad untuk mengeluarkan hukum dari sumber-sumbernya.[3] Perbedaan antara keduanya sebagai berikut:
a.       Kaidah Ushuliyah sebagai sekumpulan peraturan (qanun) yang harus dipergunakan oleh para ahli fikih agar terpelihara dari kesalahan dalam ber-istinbath. Sedangkan Kaidah Fiqhiyyah merupakan sekumpulan kaidah yang menghimpun berbagai masalah yang sama. Kaidah ini merupakan hasil pengumpulan dari beberapa masalah yang serupa (al-asybah wa an-nadho’ir) atau hukum-hukum juz’iyyah.
b.      Jika dihubungkan dengan Fiqh, maka Kaidah Ushuliyyah merupakan parameter bagi istinbath yang benar. Posisinya seperti ilmu nahwu dalam bercakap-cakap dan menulis kalimah. Kaidah Ushuliyah merupakan jembatan penghubung antara hukum dan sumbernya, yang obyek pembahasannya adalah dalil dan hukum. Adapun Kaidah Fiqhiyyah merupakan Kaidah Universal (kuliyyah) yang unsur-unsur juz’inya terdiri atas beberapa masalah fiqih dan obyek pembahasannya adalah perbuatan orang mukallaf.
c.       Kaidah Ushuliyyah adalah kaidah-kaidah kulliyyah yang dapat diaplikasikan kepada seluruh unsur juz’i dan obyek pembahasannya, tanpa terkecuali. Adapun kaidah al-fiqhiyyah merupakan kaidah aghlabiyyah (mayoritas) yang diaplikasikan kepada sebagian besar juz’inya. Sebab, dalam kaidah ini ada pengecualian (mustasnayat)nya.
d.      Kaidah Ushuliyyah merupakan sarana untuk mengeluarkan  hukum syara’ yang praktis, sementara Kaidah Fiqhiyyah adalah kumpulan hukum serupa (al-mutasyabih lah) yang memiliki illat yang sama.
e.       Kaidah Ushuliyyah muncul sebelum furu’ (cabang), sedangkan Kaidah Fiqhiyyah muncul setelah furu’ (cabang).
f.        Obyek kajian Kaidah Ushuliyyah adalah dalil-dalil hukum dan sebagai aspeknya sedangkan obyek kajian Kaidah Fiqhiyyah adalah perbuatan mukallaf yang ditetapkan dalam hukum syara’.
g.      Secara umum, Kaidah Ushuliyyah muncul lebih dahulu daripada Kaidah Fiqhiyyah. Sebab, obyek utama kajian Kaidah Ushuliyyah adalah sumber-sumber hukum dan istidlal yang sudah dimulai sejak zaman Nabi.
h.      Sebagian besar Kaidah Ushuliyyah tidak mengkaji hikmah tasyri’ dan tujuannya, tetapi mengkaji cara pengeluaran hukum dari lafal-lafal syar’i. Adapun Kaidah Fiqhiyyah berupaya mengkaji tujuan dari mengeluarkan hukum tersebut, baik secara umum maupun khusus, disamping sebagai parameter dalam mengidentifikasi rahasia-rahasia hukum dan hikmahnya.[4]
B.     Contoh-Contoh Kaidah Ushuliyyah
Kaidah Ushuliyyah dibagi menjadi dua bagian yakni:
1.      Kaidah Ushuliyah Lughowiyah
Sumber-sumber hukum Islam baik al-Qur’an dan As-Sunnah keduanya berbahasa arab. Maka untuk memahami hukum syariat dibutuhkan pengetahuan uslub bahasanya, metode dalalahnya, dan penunjukkan lafal baik secara mufrad maupun murakkab. Dari sinilah ulama’ ushul fiqh bereksperimen dengan bahasa sehingga muncul kaidah-kaidah kebahasaan (lughowiyah).[5] Kaidah ini meliputi tujuh kaidah yakni:
a.       Kaidah Ke-1 Metode Dalalah Nash
·         Ibarot an-Nash (makna yang langsung bisa dipahami dari bentuk kalimatnya). Contoh: وأحلّ الله البيع و حرّم الرّبا
Kehalalan jual-beli dan keharaman riba langsung dapat dipahami dari bentuk nash.
·         Isyarot an-Nash (makna tidak bisa langsung dimengerti, namun diperlukan perenungan karena ia adalah makna lazim).
Contoh:المولود له رزقهنّ وكسوتهنّ بالمعروف  وعلى
Secara ibarot an-nash, nash tersebut menunjukkan wajibnya ayah memberi nafkah kepada istri berupa rizki dan pakaian. Secara isyarot an-nash, dipahami sesungguhnya ayahlah satu-satunya yang menanggung nafkah anak-anaknya, karena mereka adalah miliknya bukan orang lain. Hal ini berimplikasi pada hukum perwalian terhadap anak, dalam hal waris ayah juga menjadi ashobah (penerima sisa) jika anaknya meninggal dan tidak mempunyai anak, atau mempunyai anak namun perempuan. Juga karena anak milik ayah, maka semua harta kekayaan anak juga menjadi milik ayah.
·         Dalalat an-Nash (makna yang dipahami dari ruh nash dan rasionalitasnya)
Contoh: فلا تقل لهما أفّ
Ibarotnya menunjukkan larangan anak mengatakan “ah” pada orang tuanya. Sedangkan illat dalam pelarangan tersebut adalah segala sesuatu yang menyakiti orang tua.
·         Iqtidlo’ an-Nash (makna yang tidak tampak dalam perkataan yang mana makna kalimat tersebut tidak bisa tegak atau didapat kecuali dengan mengira-ngirakannya atau memasukkannya)
Contoh: حرّمت عليكم أمّهاتكم وبناتكم
Yakni yang diharamkan adalah menikahi mereka. Kata “menikahi” perlu disisipkan karena tuntutan nash tersebut memang seperti itu.
b.      Kaidah Ke-2 Mafhum Mukhalafah
Definisinya sendiri adalah hukum yang tersirat (tidak terucap) yang berbeda dengan yang tersurat (diucapkan), baik dalam menetapkan atau meniadakan hukum. Metode ini tidak bisa didapatkan dengan 4 metode dalalah diatas. Selanjutnya mafhum mukholafah dapat dilihat dari segi sifat, syarat, ghoyah (batasan), dan adad (bilangan).
Contoh: وحلائل أبنائكم الّذين من أصلابكم
Nash menunjukkan haramnya menikahi istri-istri dari anak kandung. Maka mafhum mukholafahnya yaitu halal menikahi istri-istri anak yang bukan kandung. Ini termasuk mafhum al-washf (dari segi sifat).
c.       Kaidah Ke-3 Kejelasan Dalalah dan Tingkatannya
Sesuai urutan jelasnya dalalah dari yang terendah hingga yang tertinggi dibagi menjadi 4, yakni:
1)      Dhohir
Ia adalah sesuatu yang menunjukkan makna dengan bentuk kalimatnya, tanpa bergantung kepada aspek luar. Tetapi makna tersebut bukan makna asal (ashalah) dari runutan kalam, serta dhohir memungkinkan ta’wil.
Contoh: وأحلّ الله البيع و حرّم الرّبا
Kehalalan setiap jual beli dan haramnya setiap riba menjadi makna dhohir karena dapat langsung dipahami tanpa membutuhkan qarinah. Namun makna tersebut bukanlah maksud asal dari runutan ayat karena ayat tersebut runutan asalnya bertujuan untuk meniadakan persamaan antara jual beli dan riba bukan untuk menjelaskan hukum keduanya. Hal itu sebagai argumen bagi orang-orang yang berkata, “Bahwasanya jual beli itu sama halnya dengan riba”.[6]
2)      Nash
Ia adalah sesuatu yang menunjukkan makna dengan bentuk kalimatnya, tanpa bergantung kepada aspek luar, sebagai makna asal yang dituju oleh runutan kalam. Contoh: وأحلّ الله البيع و حرّم الرّبا
Nash-nya yaitu tiada persamaan antara jual beli dan riba.
3)      Mufassar
Ia dengan sendirinya menujukkan makna yang terperinci. Dan rincian tersebut tidak menerima ta’wil, sehingga wajib diamalkan beserta rincian-rinciannya. Contohnya yakni ayat dalam orang-orang yang menuduh zina.
فاجلدوهم ثمانين جلدة
Maka bilangan yang tertentu tersebut tidak mungkin ditambah dan dikurangi serta tidak bisa dikehendaki pada selain maknanya.
Termasuk dari mufassar ayat-ayat al-Qur’an yang asalnya bersifat global namun dirinci dengan as-Sunnah. Contoh: وأقيموا الصلاة dirinci dengan hadits
 كما رأيتموني أصلّي  صلّوا.
4)      Muhkam
Ia menunjukkan maknanya yang mana tidak menerima pembatalan, penggantian dan ta’wil. Contoh: menyembah kepada Allah, iman kepada rasul dan kitab (hukum dasar kaidah agama), birrul walidain, adil (pokok-pokok keutamaan yang tidak akan berubah lantaran perubahan kondisi), dan hukum tidak diterimanya persaksian penuduh zina selamanya (hukum cabang juz’i yang ditunjukkan oleh syari’ berlaku selamanya).
d.      Kaidah Ke-4 Kesamaran Dalalah dan Tingkatannya
Sesuai urutan samarnya dalalah dari yang terendah hingga yang tertinggi dibagi menjadi 4, yakni:
1)      Al-Khofiy
Ia adalah nash yang belum jelas maksudnya yang ketidak jelasannya tersebut bukan dari bentuk nash, melainkan ketika diterapkan pada bagian-bagian lain yang sejenis, terdapat makna yang kabur dan tersembunyi, sehigga perlu penalaran untuk menegaskan makna yang kabur tersebut.
Contoh: والسارق والسارقة فاقطعوا أيديهما
As-Sariq (pencuri) adalah orang yang mengambil barang berharga milik orang lain dengan cara sembunyi-sembunyi di tempat yang terlindungi, tanpa izin pemiliknya. Tetapi ada kesamaran ketika diterapkan pada bagian-bagian lain yang sejenis. Seperti an-Nasyal, orang yang mengabil harta dengan terang-terangan di depan umum dengan macam-macam ketangkasan dan kecepatan tangan. Dan juga an-Nabasy yang mengambil harta yang tidak disenangi pada umumnya dari kuburan, seperti kain kafan. Keduanya berbeda sifatnya dengan as-Sariq. Lantas apakah keduanya harus dipotong tangan, menurut Imam Syafi’i dan Abi Yusuf keduanya adalah pencuri maka harus dipotong tangannya. Sedangkan menurut ulama’ Hanafiyah, an-Nasyal akan dikenai potong tangan apabila harta yang diambil masih dalam tempat penjagaan seperti saku dan lengan, dan an-Nabasy bukanlah pencuri maka ia diberi sanksi atau ta’zir tanpa dipotong tangannya.[7]
2)      Al-Musykil
Ia adalah lafal yang dengan bentuk kalimatnya belum menunjukkan maknanya, sehingga perlu unsur lain untuk menjelaskan maknanya tersebut.
Contoh: والمطلّقات يتربّصن بأنفسهنّ ثلاثة قروء
Makna quru’ tidak bisa dipahami dengan sendirinya karena secara bahasa ia berarti suci dan haid. Perlu qarinah lain dalam memahami makna mana yang diharapkan dalam ayat diatas. Menurut Imam Syafi’i dan beberapa mujtahid, makna quru’ dalam ayat ini adalah suci (thuhr) berdasarkan adad yang digunakan. Sedangkan menurut ulama’ hanafiyah dan kelompok lain dari mujtahid, makna quru’ dalam ayat adalah haid. Berdasarkan hikmah dari pensyariatan iddah yakni untuk mengetahui bersihnya rahim dan haid menjadi tanda bahwa rahim bersih dari adanya pembuahan. Dan juga pendapat ini didasari ayat dan hadits.
3)      Al-Mujmal
Ia adalah lafal yang dengan bentuk kalimatnya tidak menunjukkan makna yang dimaksud, tanpa ada qarinah baik secara lafal maupun konteks yang menjelaskannya. Dan Syari’ sendiri yang akan menjelaskannya. Contoh:
§  lafal Sholat, Zakat, Shiyam, Hajj, dan Riba yang kesemuanya itu sudah keluar dari makna bahasanya dan yang diharapkan oleh Syari’ adalah makna istilah syar’inya.  Sunnah lah yang nanti akan menjelaskan maknanya.
§  Lafal-lafal yang ghorib (asing) yang dijelaskan oleh nash sendiri, seperti al-qoriah dalam surat al-qoriah, yang dijelaskan ayat selanjutnya.
4)      Al-Mutasyabih
Ia adalah lafal yang dengan bentuk kalimatnya tidak menunjukkan makna yang dimaksud, tanpa ada qarinah baik secara lafal maupun konteks yang menjelaskannya. Dan Syari’ tidak memberi penjelasan.
Contoh: الم, الر, يس, ن, ق
Termasuk dari Mutasyabih yaitu ayat-ayat yang secara dhohir terdapat penyerupaan Allah dengan makhluknya. Contoh:يد الله فوق أيديهم
e.       Kaidah Ke-5, Ke-6, dan Ke-7 adalah Musytarok dan dalalahnya, Am dan dalalahnya, dan Khosh dan dalalahnya.
Penjelasan secara singkatnya yakni Musytarok adalah lafal yang mempunyai makna lebih dari satu, Am adalah lafal yang menunjukkan atas tercakupnya seluruh kesatuan-kesatuan yang sesuai tanpa ada batasan, dan Khosh adalah lafal yang menunjukkan atas satu kesatuan atau kesatuan-kesatuan yang sesuai maknanya secara terbatas (tidak menyeluruh).[8]
2.      Kaidah Ushuliyah Tasyri’iyyah
Kaidah-kaidah Ushuliyyah Tasyri’iyyah ini menjadi landasan bagi ulama’ Ushul Fiqh dalam meneliti hukum-hukum syar’i dan dalam meneliti illat dan hikmah dari hukum syar’i.[9] Dari nash-nash yang ada ditetapkanlah dasar-dasar dan pokok-pokok pensyariatan. Seperti halnya memelihara dasar-dasar pensyariatan dalam istinbath hukum dari nash-nash adalah keharusan maka memeliharanya dalam beristinbath hukum dalam perkara yang tidak ada nashnya menjadi lebih harus lagi, supaya pensyariatan menjadi nyata dalam maksud tujuan yang menghantarkan pada kemaslahatan manusia, dan keadilan.
Kaidah ini dibagi menjadi 5 kaidah, dan akan kami bahas satu saja:
1.      Tujuan Umum Pensyariatan
Tujuan umum Syari’ dalam pensyariatan hukumnya adalah pencapaian kemaslahatan manusia meliputi pemenuhan kebutuhan dhoruriy (dasar), dan penyempuraan kebutuhan hajiy (biasa), serta kebutuhan tahsiny (pembagus).[10]
Disebut dhoruriy jika kebutuhan itu menyangkut kehidupan manusia, sekiranya jika kebutuhan ini tidak terpenuhi maka rusaklah sistem kehidupan manusia. Yang termasuk dhoruriy antara lain agama, jiwa, akal, harga diri, dan harta.
Disebut hajiy jika ia merupakan sesuatu yang dibutuhkan manusia untuk mendapat kemudahan, dan menghilangkan kesulitan hidup. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi maka sistem kehidupan tidak akan rusak dan tidak terjadi kekacauan di dalamnya, namun manusia akan mengalami kesusahan dan kesempitan. Yang termasuk di dalamnya adalah keringanan-keringanan syariat dalam menanggung taklif sehingga manusia mudah dalam melakukan interaksi, dan transaksi. Misalnya dalam ibadah, orang yang sakit dan berpergian boleh membatalkan puasa. Dalam muamalah, manusia memenuhi kebutuhannya dengan akad-akad muamalah yang bermaslahat dan tidak merugikan manusia dalam perspektif syariat. Dan dalam pidana, orang yang membunuh tanpa sengaja hukumannya lebih ringan dari pada orang yang membunuh dengan sadar.
Disebut tahsiniy jika ia berhubungan dengan harga diri dan sopan santun. Jika kebutuhan ini tidak ada maka kehidupan manusia akan dianggap aneh menurut akal sehat dan fitrah normal. Dan termasuk didalamnya adalah kemuliaan akhlak dan perbaikan kebiasaan serta segala sesuatu yang dituju manusia untuk menjalani hidup dengan cara lebih baik. Misalnya dalam sholat, disyariatkan kesucian badan, pakaian dan tempat serta menutup aurat. Dan dalam muamalah, diharamkan menipu, memalsukan, terlalu berlebihan dan terlalu irit.[11]
Kesimpulan kaidah ini adalah pencapaian kemaslahatan manusia dalam kehidupan, memberi manfaat dan menghindarkan bahaya.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Kaidah Ushuliyyah adalah kaidah-kaidah hukum yang timbul dari lafal. Contohnya seperti kaidah yang menyebutkan bahwa perintah menunujukkan kewajiban, larangan menunjukkan keharaman, dan lafal-lafal tertentu bisa menerima nasakh.
Sedangkan Kaidah Fiqhiyyah adalah Kaidah-kaidah yang bisa membatasi cabang-cabang ilmu fiqh yang sangat luas. Kaidah Fiqhiyyah juga mencakup berbagai rahasia hukum syara’ dan hikmahnya.
Perbedaan antara Kaidah Ushuliyyah dan Kaidah Fiqhiyyah adalah jika kaidah ushuliyah merupakan pedoman beristibath yang bersumber dari penelitian nash-nash yang ada maka kaidah fiqhiyyah merupakan pedoman yang menghimpun hukum-hukum yang sama.
Kaidah Ushuliyah dibagi menjadi dua yakni Lughowiyah (bahasa, berisi tujuh kaidah) dan Tasyri’iyah (pensyariatan, berisi lima kaidah).
B.     Saran
Dalam penulisan makalah yang kurang sempurna ini kami pemakalah meminta saran konstruktif dari para pembaca yang dapat digunakan untuk memperbaiki kekurangan yang ada pada makalah ini. Sekian dan terima kasih.




DAFTAR PUSTAKA

Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, Damaskus: Dar el-Fikr, 1999,   cet. I.

Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul al-Fiqh, t.t.p.: al-Haromain, 2004, cet. II.

Manshur, Yahya Khusnan, Ats-Tsamarot al-Mardliyyah, Jombang: Pustaka al-Muhibbin, 2011.

Mughits, Abdul, Ushul Fikih Bagi Pemula, Jakarta: CV Artha Rivera, t.t.h.



[1] Yahya Khusnan Manshur, Ats-Tsamarot al-Mardliyyah, (Jombang: Pustaka al-Muhibbin, 2011), hlm. 8.
[2] Abdul Mughits, Ushul Fikih Bagi Pemula, (Jakarta: CV Artha Rivera, t.t.h.), hlm. 19.
[3] Ibid, hlm. 18-19.
[4] Abdul Mughits, op. cit, hlm.19-20.
[5] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (t.t.p.: al-Haromain, 2004), cet. II, hlm. 140.
[6] Ibid, hlm. 162.
[7] Wahbah az-Zuhaili, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, (Damaskus: Dar el-Fikr, 1999), cet.I, hlm. 182-183.
[8] Abdul Wahhab Khallaf, op.cit, hlm. 177-178.
[9] Ibid, hlm. 197.
[10] Ibid, hlm. 197.
[11] Ibid, hlm. 199-200.

Makalah Filsafat Ibnu Rusyd

MAKALAH

FILSAFAT IBNU RUSYD


Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah: Filsafat Islam
Dosen Pengampu: Miftahul Ula, M, Ag.
Disusun Oleh :
Eka Styoningsih                                              (20212155  )
Arif Satri Surya                                               (20212155  )
Mudhofar                                                        (2021215517)

Kelas L
JURUSAN TARBIYAH/PAI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PEKALONGAN
2016

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Ibnu Rusyd merupakan Filsuf Muslim Barat yang sangat berpengaruh di Eropa. Atas ulasan-ulasannya pada pemikiran Aristoteles ia dijuluki sebagai asy-Syarih (Comentator). Ia seorang rasionalis sejati dan juga pengikut Aristoteles yang setia. Dirinya memposisikan dirinya sebagai pembela filsafat dan akan membalas serangan-serangan yang menyerang filsafat. Meskipu begitu Ibnu Rusyd tetaplah seorang muslim yang tidak mengingkari adanya al-Kitab dan as-Sunnah. Ia sering menggunakan ayat sebagai pendukung pendapatnya sehingga ia menjadi filsuf Islam yang serba komplit.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana riwayat hidup Ibnu Rusyd?
2.      Apa saja hasil karya Ibnu Rusyd?
3.      Bagaimana pemikiran Ibnu Rusyd?
C.     Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui riwayat hidup Ibnu Rusyd.
2.      Mengetahui hasil karya Ibnu Rusyd.

3.      Mengetahui pemikiran Ibnu Rusyd.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Riwayat Hidup Ibnu Rusyd.
Nama lengkapnya adalah Abu Al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd. Ia dilahirkan di Cordoba pada 520 H/1126 M dari keluarga ulama cendikiawan dan hakim-hakim. Kakeknya Muhammad ibn Rusyd menjabat sebagai hakim agung di Andalusia. Ayahnya Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd pernah menjabat sebagai hakim di Cordoba. Nama Ibn Rusyd dipergunakan oleh ayahnya dan oleh Ibn Rusyd sendiri.[1]
            Pada waktu kecilnya Ibnu Rusyd memelajari teologi Islam menurut Asy’ariyah, mendalami ilmu fiqh menurut madzhab Maliki, dan memperluas tentang pengetahuan syair-syair arab dan kesustraannya. Di samping itu ia juga mencurahkan perhatiannya pada ilmu kedokteran, matematika, dan filsafat.[2] Dengan terbekali keagamaan, Ibnu Rusyd menduduki peranan penting dalam studi ke-Islam-an. Beliau memelajari al-Qur’an beserta penafsirannya, dan hadits Nabi. Metoda belajarnya secara lisan dari seorang ahli (‘alim). Di samping itu, beliau juga memelajari fisika, astronomi, dan logika.[3]
            Semasa hidupnya, beliau menuliskan ulasan-ulasan atas buku-buku Aristoteles. Untuk itu dia layak disebut sebagai “Juru Ulas” dan dengan sebutan itulah dia dikenal oleh masyarakat Eropa abad pertengahan. Dante dalam karyanya Divince Comedy menyebut nama Ibnu Rusyd bersama-sama dengan Euclid, Ptolemeus, Hippocrates, Ibnu Sina dan Galen serta menjulukinya Juru Ulas yang Agung.[4] Ernest Renan, pujangga Prancis yang terkenal menyebutkan dengan lengkap segala macam sebutan dan tulisan itu di dalam bukunya “Averroes” mengenai nama panggilan panggilannya baik yang populer mauppun tidak antara lain Averroes, Ibnu Rosdin, Filius Rosadis, Ibn Rusid, Ben Raxid, Ibn Ruschod, Ben Resched, Aben Rassd, Aben Rust, Anvenrosd, Avenryz, Adveroys, Benroist, Avenroyth, Averrpysth, Averroysta d.l.l. Sebutan nama-nama tersebut membuktikan, bahwa betapa besar pengaruhnya terhadap kehidupan di Eropa dan betapa terkenal ilmunya.[5]
            Dia lebih dikenal dan dihargai di Eropa daripada di Timur dikarenakan beberapa sebab. Pertama, tulisan-tulisannya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan diedarkan serta dilestarikan, sedangkan teksnya yang asli dalam bahasa Arab dibakar atau dilarang diterbitkan lantar dianggap membahayakan akidah. Kedua, Eropa pada zaman Renaissance dengan mudah menerima filsafat dan metoda ilmiah sebagaimana dianut oleh Ibnu Rusyd, sedangkan Timur ilmu dan filsafat mulai dikurbankan demi berkembangnya gerakan-gerakan mistis dan keagamaan. Dalam pertentangan antara agama dan ilmu filsafat, Agama memenangkannya di Timur dan Ilmu memenangkannya di Barat.[6]
            Pertentangan tersebut mengakibatkan Ibnu Rusyd dibuang dari tanah kelahirannya (593 H/1196 M) ke Lucena. Beliau bukan hanya dibuang namun karya-karyanya juga dibakar di muka umum. Pertarungan kaum agamawan dan filsuf untuk mendapatkan kekuasaan politik tidak pernah reda sejak abad ke-3 H/ke-9 M. Namun aib dan penderitaan yang dialami oleh Ibnu Rusyd tidak berlangsung lama. Al-Manshur (khalifah masa itu yang menggantikan khalifah sebelumnya Khalifah Abu Yusuf) mengampuni dan memanggilnya kembali. Ibnu Rusyd pergi ke Marrakusy, dan beliau meninggal disana pada tahun 595 H/1198 M.[7]
B.     Hasil Karya
Ibnu Rusyd banyak mengarang buku, tetapi yang asli berbahasa Arab sampai ke tangan kita sekarang hanya sedikit. Sebagian buku-bukunya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Yahudi.[8]
Di antara karangan-karangannya dalam soal filsafat adalah:
a.       Tahafut at-Tahafut.
b.      Risalah fi Ta’alluqi Ilmillahi ‘an ‘Adami Ta’alluqihi bi al-Juz’iyyat.
c.       Tafsiru Ma ba’da ath-Thabiat.
d.      Fashl al-Maqal fi Ma baina al-Hikmat wa asy-Syariat min al-Ittishal.
e.       Al-Kasyfu ‘an Manahijil ‘Adillat fi ‘Aqaidi Ahl al-Millat.
f.       Naqdu Kadhariyat Ibni Sina ‘an al-Mumkin Lidzatihi wal al-Mumkin li Ghairihi.
g.      Risalat fi Wujud al-‘Azali wa Wujud al-Muaqqat.
h.      Risalat fi al-Aqli wa al-Ma’quli.[9]
C.     Pemikiran Ibnu Rusyd
Sebagai filsuf Ibnu Rusyd berpendapat bahwa Aristoteles adalah seorang “pemikir agung” yang sangat mendalami masalah-masalah falsafi. Ia adalah seorang yang benar yang tidak pernah salah dari segi apa pun. Ia adalah citra tertinggi (al-shurah al-‘ulya) dari akal insani, sehingga ia digelar sebagai seorang “filosof Ilahi”. Dan dia pula termasuk di antara orang-orang yang diisyaratkan Allah dalam firmanNya, “Allah memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendakiNya, dan barang siapa diberikan hikmah, maka ia telah diberikan banyak kebaikan” (QS. Al-Baqarah: 269). Oleh karena itu, ia memposisikan dirinya sebagai pembela filsafat.[10]
Ibnu Rusyd berdiri di pihak Ibnu Sina, versus al-Ghazali, jika pendapat Ibnu Sina sesuai dengan pendapatnya, atau dengan kata lain jika pendapat tersebut berasal dari Aristoteles. Namun jika Ibnu Sina dirasa menyalahi “Guru Pertama”, maka Ibnu Rusyd tidak membelanya serta meremehkannya seraya menjelaskan bahwa Ibnu Sina telah meberikan kesempatan bagi al-Ghazali untuk menyerang filsafat dan para filosof umumnya. Tujuan dari tulisan-tulisan Ibnu Rusyd sendiri adalah untuk mencapai kebenaran dan menjelaskannya, baik kebenaran tersebut dari pihak Ibnu Sina maupun dari al-Ghazali.[11]
1.      Pencarian Tuhan
Ibnu Rusyd membicarakan filsafat ketuhanan di berbagai karangannya, antara lain, Tahafut at-Tahafut dan Manahij al-Adillah. Ia meneliti berbagai golongan yang timbul dalam Islam. Masing-masing golongan mempunyai kepercayaan yang berlainan tentang Tuhan, dan banyak memindahkan kata-kata syara’ dari arti lahirnya kepada takwilan-takwilan yang disesuaikan dengan kepercayaannya. Kemudian mereka mengira bahwa kepercayaannya itulah yang harus dianut oleh semua orang dan barang siapa yang menyimpang darinya berarti telah kafir atau menjadi bid’ah.[12]
Menurut golongan Asy’ariyah bahwa kepercayaan tentang wujud Tuhan dapat dicapai melalui akal pikiran. Menurut Ibnu Rusyd untuk ini mereka tidak menempuh jalan yang ditunjukkan oleh syara’ karena mendasarkan baharunya alam atas tersusunnya dari bagian-bagian yang tidak terbagi-bagi, dan bagian-bagian itu adalah baru. Kalau alam ini baru, maka ia mesti ada pembuatnya yang baru, dan pembuat ini membutuhkan pembuat yang lain, dan begitu seterusnya sampai tidak berkesudahan. Kalau alam ini qadim,  maka perbuatan pembuatan yang berhubungan dengan perkara-perkara yang dibuatnya tersebut adalah qadim juga.[13]
Golongan mutakallimin Asy’ariyah akan mengatakan bahwa pembuatan yang  baru adalah karena iradah (kehendak) yang qadim. Maka Ibnu Rusyd menjawab bahwa pendapat tersebut tidak dapat diterima karena iradah itu bukan perbuatan yang berhubungan dengan perkara yang dibuat. Jika perkara tersebut baru, maka perbuatan yang berhunbungan dengannya juga harus baru, tanpa membedakan apakah iradahNya itu qadim ataukah baru, karena perbuatan itu dari dzat yang membuat, lain dari perkara yang dibuat, dan lain pula dari iradah. Lagi pula iradah tersebut hanya menjadi syarat adanya perbuatan, bukan perbuatan itu sendiri.[14]
Terhadap golongan tasawuf, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa penelitian mereka bukan pemikiran, yakni yang terdiri atas dasar-dasar pemikiran atau premis-premis dan kesimpulan, karena mereka mengira bahwa pengetahuan tentang Tuhan dan wujud-wujud lain diterima oleh jiwa ketika sudah terlepas dari hambatan-hambatan kebendaan dan ketika pikirannya tertuju kepada perkara yang dicarinya. Cara tersebut menurut Ibnu Rusyd bukanlah cara kebanyakan manusia sebagai makhluk yang memiliki pikiran.[15]
Dalam Fashl al-Maqaal Ibnu Rusyd menyatakan, bahwa mengenal pencipta itu hanya mungkin dengan mempelajari wujud alam yang diciptakan-Nya, untuk dijadikan petunjuk bagi adanya pencipta itu. Yaitu dengan dalil inayah dan dalil ikhtira’ yang ada di al-Qur’an. Dalil inayah didasarkan pada suatu kenyataan bahwa semua yang ada ini adalah sesuai dengan kebutuhan manusia, karena semua itu telah dijadikan oleh Pencipta yang menghendaki hal yang demikian itu. Sedangkan dalil ikhtira’ didasarkan pada segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi adalah diciptakan, bukan terjadi dengan sendirinya, dengan bukti penyaksian kita sendiri, dan dengan dalil gerak langit sebagai indikator bahwa ia diperuntukkan untuk kita.[16] Begitu pula makhluk hidup seperti hewan, tumbuhan, dan manusia memiliki kehidupan yang berbeda dan tingkatan yang berlainan pula, hal tersebut bukanlah kebetulan, namun menunjukkan adanya Pencipta yang menghendaki hal yang demikian itu. Sehingga dengan dua dalil ini dapat dibuktikan bahwa alam semesta ini ada Penciptanya.
Imam Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah telah menyatakan kekafiran kepada para filsuf disebabkan tiga hal yaitu adanya keyakinan mereka bahwa alam adalah qadim (ada tanpa permulaan), Allah tidak mengetahui segi-segi bagian (juziyat) dan interpretasi mereka tentang kebangkitan jasmani (dari kubur) serta kehidupannya sesudah mati.
Menanggapi pernyataan itu Ibnu Rusyd berkomentar bahwa sebenarnya para filsuf berpendapat bahwa Allah mengetahui juziyyat, hanya saja dengan cara yang berbeda dengan cara kita mengetahui juziyyat. Sebab pengetahuan kita tentang juziyyat itu adalah efek dari obyek yang telah diketahui, yang efek itu tercipta bersama terciptanya obyek tersebut, serta berubah bersama perubahannya. Sedangkan pengetahuan Allah tentang apa yang ada ini adalah kebalikannya. PengetahuanNya itu merupakan sebab bagi obyek yang diketahuiNya yakni segala wujud ini, jadi barang siapa yang menganggap sama kedua  pengetahuan itu, maka berarti telah menyamakan esensi dan sifat-sifat dari hal-hal yang berlawanan dan ini merupakan puncak kebodohan. Dan jika perkataan pengetahuan digunakan untuk memenangkan baik tentang pengetahuan ciptaan maupun pengetahuan bukan ciptaan, maka hal itu bisa terjadi hanya karena semata-mata kesamaan nama saja.[17]
2.      Qadimnya Alam
Apakah alam ini qadim ataukah baru, maka menurut Ibnu Rusyd perselisihan antara kaum teolog Asy’ariyah dan para fisuf klasik hampir bisa dikembalikan pada perselisihan mengenai penamaan saja, khususnya bagi beberapa orang filsuf saja. Sebab mereka telah sepakat adanya tiga macam wujud yaitu dua wujud yang berada di dua ujung dan yang satu berada di tengah-tengahnya.
Wujud yang pertama adalah wujud yang terjadi dari sesuatu selain dirinya dan oleh sesuatu sebab penggerak serta dari suatu bahan tertentu, dan wujud ini dalam kewujudannya didahului oleh waktu.
Wujud yang kedua adalah wujud yang adanya tidak berasal dari maupun disebabkan oleh sesuatu yang lain serta tidak pula didahului oleh waktu. Wujud ini dinamakan qadim. Adanya wujud ini telah dibuktikan melalui burhan dan itulah Tuhan Yang Maha Agung, Penggerak sekalian yang ada, Pencipta, dan Pemelihara.
Adapun wujud jenis yang menengahi adalah wujud yang tidak berasal dari sesuatu serta tidak pula didahului oleh waktu tapi terwujud oleh suatu Penggerak. Inilah alam secaraa keseluruhannya. Semua golongan tadi sepakat adanya tiga sifat tersebut bagi alam. Karena para teolog Islam mengakui bahwa tidak mendahului alam, atau pengertian ini sebagai suatu kesimpulan yang tak terelakkan bagi mereka, sebab waktu menurut mereka ialah sesuatu yang menyertai gerak dan benda. Para teolog Islam juga sepakat dengan para filsuf klasik dalam pandangan bahwa waktu mendatang adalah tak terbatas begitu pula dalam wujud mendatang.[18]
Kemudian Ibnu Rusyd menyitir ayat al-Qur’an mengenai hal ini. “Dan Dialah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, dan Arsy (singgasana)-Nya ada di atas air” (QS. Hud: 7). Ayat ini dijadikan pegangan Ibnu Rusyd di dalam melandasi pendapatnya yang menyatakan bahwa “di sana telah ada sesuatu sebelum apa yang ada sekarang ini terwujud, yaitu tahta atau singgasana dan air, dan telah ada pula waktu sebelum adanya waktu sebelum adanya waktu yang kita kenal sekarang ini, yakni suatu periode waktu yang terkaitkan dengan bentuk (form) daripada apa yang ada ini, yaitu sejumlah gerakan benda-benda langit”.[19]
3.      Kebangkitan Jasmani
Menurut al-Ghazali, salah satu unsur yang menyebakan orang menjadi kafir adalah karena mengingkari adanya kebangkitan jasmani di akhirat kelak. Hal ini banyak terjadi di kalangan filsuf.
Ibnu Rusyd menyangkal pendapat al-Ghazali tersebut, karena kebangkitan jasmani telah tersiar lebih dari seribu tahun yang lalu (dari masanya), sedangkan usia filsafat kurang dari masa itu, di mana orang pertama-tama mengatakan adanya kebangkitan jasmani ialah nabi-nabi terdahulu dari Kitab Zabur, maupun Injil.
Bagi orang yang mengimani syara’, maka mereka sepakat bahwa dasar-dasar dari syariat adalah harus diterima saja, karena bukti tentang wajibnya amalan tidak lain hanya wujudnya keutamaan-keutamaan yang diperoleh dari perbuatan akhlak dan amalan. Maka jelas pula bagi pendapat yang dikemukakan oleh para filsuf dalam masalah syariat, yaitu bahwa dasar-dasar amalan serta perbuatan-perbuatan yang syah pada setiap agama harus diambil dari nabi-nabi, dan di antara perbuatan-perbuatan tersebut yang paling baik ialah yang lebih banyak memberikan dorongan kepada orang banyak untuk melakukan amalan-amalan yang utama, seperti shalat dalam Islam yang dapat menjauhkan kemungkaran dan lebih baik daripada shalat (kebaktian) yang ditentukan agama lain, karena faktor-faktor tertentu, seperti bilangan rakaat, waktu pelaksanaan, bacaan, bersuci dan lain-lain.
Demikian pula dalam masalah kebangkitan jasmani di akhirat. Islam dalam masalah ini lebih banyak mendorong kepada amalan-amalan utama. Oleh karena itu pengambaran terhadap kebangkitan jasmani itu dengan gambaran-gambaran materiil lebih baik daripada pengggambaran-penggambaran rohani seperti yang digambarkan oleh syara’ bahwa surga diperuntukkan untuk orang-orang yang takwa dengan sungai yang mengalir di bawahnya.
            Ini semua menunjukkan bahwa alam akhirat adalah alam lain yang lebih tinggi daripada alam dunia, dan adanya saat fase yang lebih utama daripada fase di dunia. Maka Menganggap tujuan hidup manusia hanya mencapai kelezatan dzahir saja termasuk perbuatan orang-orang zindik.
4.      Kerasulan Nabi
Berbeda dengan ulama’ ilmu kalam, menurut Ibnu Rusyd, mu’jizat ada dua macam yakni,
a.       Mu’jizat Luaran (al-Karrami), yakni mu’jizat yang sesuai dengan sifat mengapa seorang nabi disebut nabi, seperti menyembuhkan penyakit, dan membelah lautan.
b.      Mu’jizat Sesuai (al-Immasib) dengan sifat kenabian tersebut, yakni syari’at yang dibawanya untuk kemaslahatan manusia.
Mu’jizat yang yang pertama sebenarnya hanya menjadi tanda penguat tentang adanya kerasulan. Dan mu’jizat ini adalah sebagai jalan keimanan orang awwam. Sedangkan mu’jizat yang kedua adalah merupakan tanda kerasulan yang sebenarnya, dan mu’jizat terakhir ini sebagai jalan keimanan bagi para ulama’ sekaligus orang awwam dengan kadar kemampuan akal yang dimilikinya. Di sini Ibnu Rusyd menonjolkan rasionalismenya.[20]



[1] Maftukhin, Filsafat Islam, (Yogyakarta: Teras, 2012), cet.I, hal. 192.
[2] Ibid, hlm. 192.
[3] A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), cet.I, hlm. 284.
[4] Ibid, hlm. 286.
[5] Suparman Syukur, Epistemologi Islam Skolastik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan IAIN Walisongo Semarang, 2007), cet.I,  hlm. 17-18.
[6] A. Mustofa, op. cit.., hlm. 287.
[7] Ibid, hlm. 288.
[8] Ibid, hlm. 289.
[9] Ibid.
[10] Ahmad Daudy (ed), Segi-Segi Pemikiran Falsafi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), cet.I, hlm. 10-11.
[11] Ibid, hlm. 11.
[12] A. Mustofa, op. cit., hlm. 289
[13] Ibid, hlm. 290.
[14] Ibid.
[15] Ibid, hlm. 291.
[16] Ahmad Daudy (ed), op. cit., hlm. 22-23.
[17] A. Mustofa, op. cit., hlm. 294.
[18] Ibid, hlm. 297-296.
[19] Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam (Abad Pertengahan), Amin Abdullah (penerj), (Jakarta: Rajawali, 1989), cet.I, hlm. 36.
[20] A. Mustofa, op. cit. hlm. 304-307.