Bagaimana Konsep Pendidikan Anak

KONSEP PENDIDIKAN ANAK   A.     Pengertian Pendidikan Anak Istilah pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu pada term a l ...

Minggu, 27 Desember 2020

MAKALAH PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN PADA MASA BANI UMAYYAH

 


MAKALAH
PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN PADA MASA BANI UMAYYAH

Diajukan untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah: Sejarah Pendidikan Islam
Dosen Pengampu:
Dwi Istiani, M. Ag



Oleh:
Ahmad Rizqon                                                (2021215506)
Mudhofar                                                        (2021215517)




INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN
2016
DAFTAR ISI
JUDUL................................................................... ...........................................................i
DAFTAR ISI.............................................. .............................................. ........................1
BAB I PENDAHULUAN.............................................. ..................................................2
A.    Latar Belakang Masalah.............................................. ...................................2
B.     Rumusan Masalah.............................................. ............................................2
C.     Tujuan Penulisan.............................................. ..............................................2
BAB II PEMBAHASAN.............................................. ...................................................3
A.    Gambaran Politik Bani Umayyah....................................................................3
B.     Lembaga Pendidikan.............................................. ........................................4
C.     Ilmu Pengetahuan dan Perkembangannya pada masa Bani Umayyah............6
BAB III PENUTUP............................... .............................................. ...........................10
A.    Kesimpulan.............................................. ......................................................10
B.     Saran.............................................. ................................................................10
DAFTAR PUSTAKA.............................................. ........................................................11





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Ilmu pengetahuan mampu memajukan peradaban masyarakat, tanpa ilmu pengetahuan peradaban menjadi terbelakang. Jika kita membahas tentang ilmu pengetahuan maka erat hubungannya dengan pendidikan dimana ada pendidik, yang dididik, alat pendidikan dan sarana prasarana pendidikan. Yang semuanya itu dalam perjalanan sejarah akan mengalami transformasi, perkembangan, dan alih tujuan.
Sejarah pendidikan islam masa Bani Umayyah dipandang sebagai fase pertumbuhan pendidikan islam yang menuntun nantinya kepada masa kejayaan islam. Di dalamnya banyak kejadian-kejadian yang akan membawa perbedaan yang sangat besar di masa selanjutnya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana gambaran politik Bani Umayyah?
2.      Apa saja lembaga pendidikan yang berkembang pada Masa Bani Umayyah?
3.      Bagaimana ilmu pengetahuan dan perkembangannya pada masa Bani Umayyah?
C.     Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui gambaran politik Bani Umayyah.
2.      Mengetahui lembaga pendidikan yang berkembang pada Masa Bani Umayyah.
3.      Mengetahui ilmu pengetahuan dan perkembangannya pada masa Bani Umayyah.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Gambaran Politik Bani Umayyah.
Kekhalifahan Bani Umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan pada tahun 41 H/661 M dan berakhir pada 132 H/750 M. Dengan demikian, Dinasti yang berpusat di Damaskus ini berkuasa kurang lebih 91 tahun. Para ahli sejarah umumnya mencatat, bahwa proses berdirinya kekhalifahan Bani Umayyah diperoleh melalui kekerasan, diplomasi, dan tipu daya, tidak melalui pemilihan secara demokratis berdasarkan suara terbanyak. Nama-nama khalifah Bani Umayyah yang tergolong menonjol adalah Muawiyah ibn Abi Sufyan (661-680 M), Abd al-Malik ibn Marwan (685-705 M), al-Walid ibn Abd al-Malik (705-715 M), Umar ibn Abd al-Aziz (717-720 M), dan Hisyam ibn Abd al-Malik (724-743 M).[1]
Masa kekhalifahan Bani Umayyah selain banyak diisi dengan program-progam besar, mendasar, dan strategis, juga banyak melahirkan golongan dan aliran dalam Islam, serta perkembangan ilmu agama, ilmu umum, kebudayaan, dan peradaban. Diantara kebijakannya adalah dikotominya kekuasaan politik dan kekuasaan agama. Muawiyah juga berjasa dalam mengadakan dinas pos kilat atau Diwan ar-Rosail dengan kuda-kuda yang siap mengantar surat di tiap pos. Selain itu juga ada Departemen Pajak yang dikenal sebagai Diwan al-Kharaj, Departemen yang menangani berbagai kepentingan umum dinamakan dengan Diwan al-Musghilat, dan Dewan Dokumen Negara dinamakan dengan Diwan al-Khatim.
Hampir satu abad Daulah Bani Umayyah berkuasa, namun ini belum dihitung dengan kekuasaan keturunan Umayyah yang melarikan diri ke Cordoba (Spanyol) dan menghimpun kekuatan dan mendirikan kerajaan di sana (Daulah Bani Umayyah II). Dimulai pada tahun 756 M dengan kholifah pertamanya Abdur Rohman dan berakhir pada 1031 M dengan kholifah terakhirnya Hisyam III.
Di antara program besar, mendasar dan strategis di zaman Bani Umayyah adalah perluasan wilayah Islam. Melalui berbagai keberhasilan ekspansi-ekspansi yang dilakukan, maka wilayah kekuasaan Islam di zaman Bani Umayah, di samping Jazirah Arabia dan sekitarnya, juga telah menjangkau Spanyol, Afrika Utara, Syria, Palestina, Irak, Asia Kecil, Persia, Afghanistan, Pakistan, Turkmenia, Uzbek, dan Kirgis di Asia Tengah.[2]
B.     Lembaga Pendidikan
Diantara lembaga pendidikan yang berkembang pada masa Daulah Umayyah yaitu:
1.      Kuttab
Kuttab atau maktab berasal dari kata dasar kataba yang berarti menulis.[3] Kuttab-kuttab sebelum datangnya Islam berfungsi untuk mempelajari membaca dan menulis. Dan setelah adanya Islam maka pelajaran anak-anak pada Kuttab ditambahi dengan hafalan al-Qur’an al-Karim, pelajaran agama islam, khoth, aritmetika (ilmu hitung), dan dasar-dasar bahasa.[4] Membaca dan menulis sebagai kegiatan yang bisa menggerakkan peradaban sangatlah penting dalam pandangan Islam. Terbukti pada saat perang badar Rasulullah shollallahu alaihi wa sallama memaksa setiap para tawanan perang yang mengetahui cara membaca dan menulis untuk mengajari sepuluh anak muslimin baca tulis sebagai syarat pembebasan dirinya.[5]
Pada masa Khalifah Muawiyah, bangunan Kuttab bukan hanya di dekat masjid tetapi juga ada yang di rumah guru dan di istana. Bagi guru Kuttab yang mengajar di masjid tidak diberi gaji, namun guru Kuttab di istana diberi gaji. Ada di antara penguasa yang membayar atau menggaji guru untuk mengajar anak-anaknya bahkan disediakan tempat mukim untuk guru di istana.[6]
2.      Istana
Pendidikan di istana tidak hanya megajarkan pelajaran tingkat dasar/rendah, tetapi berlanjut pada pengajaran tingkat tinggi sebagaimana halaqoh, masjid, dan madrasah. Guru istana dinamakan dengan Muaddib. Tujuan pendidikan istana selain mengajarkan ilmu pengetahuan bahkan muaddib harus mendidik akal, hati dan jasmani anak.[7]
3.      Badiyah
Dengan adanya “arabisasi” oleh Abdul Malik ibn Marwan, maka muncullah istilah Badiyah yaitu dusun Badui di padang sahara yang masih fasih dan murni bahasa arabnya. Dari sini muncullah ilmu qowa’id dan cabang ilmu lainnya untuk memelajari bahasa arab. Sehingga banyak kholifah mengirim anaknya ke Badiyah, bahkan para ulama’ juga pergi ke sana untuk belajar bahasa arab.[8]
4.      Al-Bimaristan
Al-Bimaristan adalah rumah sakit tempat berobat dan merawat orang sakit serta sekaligus berfungsi sebagai tempat magang, penelitian, dan pendidikan ilmu kedokteran bagi calon dokter. Khalid ibn Yazid, cucu Muawiyah, misalnya sangat tertarik pada ilmu kimia dan kedokteran. Melalui wewenang yang ada padanya, ia menyediakan sejumlah dana dan memerintahkan para sarjana yunani yang ada di Mesir untuk menerjemahkan buku kimia dan kedokteran ke dalam bahasa arab. Inilah kegiatan penerjemahan pertama dalam sejarah Islam.[9]
5.      Perpustakaan Cordoba
Perpustakaan ini ada di Cordoba (Spanyol) dan pendirinya adalah al-Hakam ibn an-Nashir (350 H/950 M) atau bisa dikatakan perpustakaannya Daulah Bani Umayyah II. Perpustakaan ini memiliki 400.000 jilid buku dimana pada saat yang sama Gereja Besar Swiss St. Gall hanya memiliki 600 buku. Perpustakaan ini menjadi pusat budaya dan intelektual yang besar.
C.     Ilmu Pengetahuan dan Perkembangannya Pada Masa Bani Umayyah
Pada zaman ini hidup para shahabat kecil. Jadi para tabiin yang ingin memelajari ilmu agama mudah untuk bertanya atau berguru dengan para shohabat. Terlebih dengan bertambah luasnya kekuasaan Islam berakibat pada bertemunya budaya arab dengan selain arab seperti Yunani, Mesir, dan Persia yang membawa pada pertukaran budaya, pemikiran, dan ilmu pengetahuan. Beberapa cabang ilmu sudah mempunyai nama seperti ilmu nahwu, dan ilmu umum lainnya. Namun ilmu pengetahuan yang lain belum mempunyai nama atau istilahnya al-musamma bi la ismin (sesuatu hal kongkret tanpa nama). Misalnya ilmu tasawwuf, praktek dan pengajarannya sudah ada pada zaman ini, namun memang belum ada istilah untuk penyebutannya. Dan memang pada zaman ini belum mulai ada kodifikasi ilmu pengetahuan mengingat orang arab pada saat itu belum mengenal teknik pembuatan kertas.
Adapun ilmu pengetahuan yang berkembang pada zaman ini antara lain bisa dibagi menjadi 3, yaitu ilmu agama, ilmu bahasa, dan ilmu pengetahuan umum.
1.      Ilmu agama
a.       Al-Qur’an
Salah satu Imam Qurro’ Tujuh yang hidup pada zaman Umayyah adalah Abdullah Ibnu ‘Amir (w. 118 H). Beliau adalah salah satu murid dari Abu Darda’ (w. 32 H). Beliau mampu menyampaikan hukum-hukum qiroah al-Qur’an dan akhirnya qiroah beliau menjadi qiro’ah yang berdiri sendiri.[10]
Cikal bakal syakl pada al-Quran muncul pada masa Daulah Umawiyah. Dimulai dari penemuan titik i’rab oleh Abul Aswad ad-Duali (w. 67 H) berupa satu titik di atas huruf untuk melambangkan vokal “a”, satu titik di bawah huruf untuk melambangkan vokal “i”, satu titik di samping kiri huruf untuk melambangkan vokal “u”, dan dua titik digunakan untuk melambangkan suara akhiran “-n” atau nun mati (tanwin).
Tulisan al-Qur’an sebelumnya hanyalah huruf tanpa titik. Misalnya huruf ba’ta’ dan tsa’ sukar sekali dibedakan bentuknya oleh orang-orang selain arab.  Pada masa Kholifah Abdul Malik ibn Marwan (65 H), beliau memerintahkan salah satu gubernurnya yaitu al-Hajjaj ibn Yusuf untuk memberikan titik sebagai pembeda huruf. Kemudian al-Hajjaj memerintahkan Nashr ibn ‘Ashim (w. 89 H) dan Yahya ibn Ya’mar (w. 129 H) untuk merealisasikannya. Akhirnya ditemukanlah titik yang membedakan huruf. Misalnya ba’ dengan satu titik di bawah, ta’ dengan dua titik di atas, dan tsa’ dengan tiga titik di atas.
b.      Al-Hadits
Telah diketahui bahwa Kholifah Umar ibn Abdul Aziz adalah penggagas penulisan hadits. Beliau memerintahkan kepada Gubernur Madinah Abu Bakr Muhammad ibn Amr ibn Hazm, “Aku melihat sesuatu berupa hadits Rosulullah, sunnahnya atau semacamnya, maka tuliskanlah itu untukku. Sesungguhnya aku khawatir dengan ilmu pengetahuan dan hilangnya para ulama”. Salah satu orang yang besar kecintaannya serta dedikasinya pada penulisan hadits adalah Ibnu Syihab az-Zuhri (w. 124 H). Tadwin beliau menjadi tadwin hadits yang umum untuk pertama kali.[11]
c.       Penggalian Hukum Syar’i
Munculnya aliran-aliran seperti Syiah dan Khowarij menjadikan perbedaan politik yang amat jauh. Hal ini menghantarkan juga pada perbedaan besar antara Syiah, Khowarij dan Mayoritas Islam dalam cara mereka menggali hukum.
Syi’ah memandang hanyalah imam mereka yang patut menjadi panutan dan sosok pemberi petunjuk, maka mereka tidak mengambil fatwa dari selain imam mereka. Berawal dari kefanatikan mereka pada Ali ibn Abi Tholib bahwa dialah satu-satunya yang berhak menjadi pemimpin atas dasar wasiat Rosul, maka selain Ali adalah pemimpin yang tidak sah bahkan Kholifah Abu Bakr, Umar, Utsman dan Muawiyah dipandang tidak lebih dari pemimpin yang dhalim dan meng-ghasab kepemimpinan Ali. Setelah wafatnya Ali kepemimpinan adalah hak bagi keturunannya.
Dalam urusan khilafah, Khowarij hanya condong kepada Syaikhani yakni Abu Bakr dan Umar. Mereka berlepas diri dari Utsman, Ali, dan Muawiyah. Mereka berpandangan bahwa kekhalifahan adalah perkara yang dipasrahkan kepada rakyat supaya rakyat bebas memilih. Selanjutnya Khawarij hanya mengambil dhohir al-Qur’an dan tidak menerima hadits kecuali hadits yang diketahui beredar pada zaman Abu Bakr dan Umar yang diriwayatkan oleh orang yang mereka percaya dan pemimpin mereka.[12]
Pada masa Daulah Umawiyah terdapat qodli dan para mufti di setiap kota seperti Makkah, Madinah, Kufah, Basra, Syam, Mesir, dan Yaman. Ijtihad pada masa ini mulai terbagi menjadi dua golongan yakni ahlu al-hadits (mereka yang mengedepankan riwayat) dan ahlu al-ro’yi (mereka yang mengedepankan nalar).
2.      Ilmu Bahasa
Arab adalah bangsa yang berbahasa fasih. Bahkan al-Qur’an turun dengan bahasa arab yang fasih dan indah menambah kekaguman orang arab akan bahasanya sendiri. Dengan ekspansi-ekspansi yang dilakukan maka bercampurnya orang arab dengan non-arab seperti Persia, Yunani, dan Mesir yang berbeda bahasa tidak bisa dihindari. Maka rusaklah bahasa lisan, yang nantinya di sini akan disebut dengan lahn (kekeliruan i’rab).
Dalam perjalanan sejarah dari Nabi hingga Khulafaur Rasyidin sebenarnya lahn sudah terjadi. Lahn sangat tidak disukai oleh Nabi dan Para Shahabat hingga ketika ada seorang laki-laki lahn di hadapan Nabi, Nabi pun bersabda kepada shahabatnya, “Bimbinglah saudaramu sekalian (ini) maka sesungguhnya ia telah tersesat”.[13] Dan masih banyak kasus lahn pada masa Khulafaur Rasyidin.
Pada masa Daulah Umawiyah kasus lahn kian menjamur. Kesalahan kian variatif dari mulai tulisan, bicara hingga membaca al-Qur’an. Maka pendidikan seperti Kuttab dan al-Badiyah sangatlah penting pada masa ini. Ilmu Nahwu yang sudah dirintis sejak masa khalifah Ali ibn Abi Thalib pun kian dikembangkan, diperluas pembahasannya, dan difilsafati pada masa ini. Ilmu Nahwu sendiri berkembang di Basrah dan peletak dasar pertamanya adalah Abul Aswad ad-Duali. Selain itu, ilmu Qowaid al-Lughot pun muncul sebagai patokan bagi mereka yang belum memahami bahasa arab dengan banyaknya orang baduwi yang mengajar di Badiyah maupun di kota-kota.
3.      Ilmu Pengetahuan Umum.
Pada masa ini ilmu pengetahuan semakin berkembang diantaranya ilmu filsafat (sebagai warisan Yunani di Syam), ilmu kedokteran, ilmu kimia, ilmu perbintangan (Kholid Ibn Yazid ibn Muawiyah menaruh perhatian pada ilmu-ilmu ini, serta beberapa khalifah selanjutnya), ilmu bumi dan ilmu sejarah.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari segi politik pada masa Bani Umayah muslimin terbagi menjadi 3 golongan, yakni Jumhur, Syiah, dan Khowarij. Bani Umayah berkuasa kurang lebih 90 tahun dari tahun 41 H sampai 132 H. Dengan khalifah besarnya Muawiyah ibn Abi Sufyan (661-680 M), Abd al-Malik ibn Marwan (685-705 M), al-Walid ibn Abd al-Malik (705-715 M), Umar ibn Abd al-Aziz (717-720 M), dan Hisyam ibn Abd al-Malik (724-743 M).
Lembaga pendidikan pada masa ini yang berkembang antara lain: Kuttab, Badiyah, Bimaristan, Istana, dan Perpustakaan Cordoba.
Ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa ini antara lain: al-Qur’an (ilmu al-Qiroat, penulisan titik i’rab dan titik huruf), al-Hadits (tadwinnya), Ijtihad dan Istinbath, ilmu nahwu, ilmu qowaid, ilmu filsafat, ilmu sejarah, ilmu bumi, ilmu kedokteran, ilmu kimia, dan ilmu bintang.
B.     Saran
Dalam penulisan makalah yang kurang sempurna ini kami pemakalah meminta saran konstruktif dari para pembaca yang dapat digunakan untuk memperbaiki kekurangan yang ada pada makalah ini. Sekian dan terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA

al-Hadlori Bik, Muhammad, Tarikh at-Tasyri’ al-Islami, Kairo : Dar al-Fikr, 1967, cet. VIII
al-Ibrosyi, Muhammad ‘Athiyyah, at-Tarbiyat al-Islamiyah wa Falasifatuha, tt. : Dar al-Fikr, tth, cet. II
Dloif, Syauqi, Tarikhul Adab al-Arobi, Kairo : Dar al-Ma’arif, tth, cet. II, jilid VI
Nata, Abuddin, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Kencana Prenadamedia Group, 2014, cet. II
Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Kalam Mulia, 2011, cet. I
Zuhairini, dkk. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara, 2004, cet. VII



[1] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana Prenadamedia Group, 2014), cet. II, hlm. 127
[2] Ibid, hlm. 129
[3] Zuhairini, dkk. Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta : Bumi Aksara, 2004), cet. VII, hlm. 89
[4] Muhammad ‘Athiyyah al-Ibrosyi, at-Tarbiyat al-Islamiyah wa Falasifatuha, (tt : Dar al-Fikr, tth), cet. II, hlm. 73
[5] Ibid hlm. 74
[6] Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 2011) cet. I, hlm. 71
[7] Ibid
[8] Ibid, hlm. 72
[9] Abuddin Nata. op. cit. hlm. 137
[10] Syauqi Dloif, Tarikhul Adab al-Arobi, (Kairo : Dar al-Ma’arif, tth), cet. II, jilid VI, hlm. 62
[11] Ibid.
[12] Muhammad al-Hadlori Bik, Tarikh at-Tasyri’ al-Islami, (Kairo : Dar al-Fikr, 1967), cet. VIII, hlm. 139.
[13] Muhammad ‘Athiyyah al-Ibrosyi, op. cit. hlm. 110.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar