MAKALAH AKHLAK TASAWUF
LANGKAH-LANGKAH PEMBINAAN AKHLAK
Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Akhlak Tasawuf
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di era modernisasi ini manusia lebih banyak menghabiskan
waktunya menikmati teknologi yang disediakan dan urusan materi pun lebih
didahulukan. Namun sebenernya semua ini tidak menjamin kebahagiaan mereka di
dunia maupun di akhirat. Kegalauan dan kekeringan jiwa masih tampak dalam diri
mereka meski kebutuhan materi telah terpenuhi. Tentunya hal ini dikarenakan
kurang dekatnya dengan Sang Maha Pencipta.
Upaya tazkiyatun nafs, tarbiyah
dzatiyah, dan halaqoh tarbawiyah merupakan jawaban atas kegalauan yang selama
ini dirasakan. Membina akhlak merupakan kebutuhan setiap manusia untuk meraih
kebahagiaan dunia akhirat.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa pengertian hakekat
pembinaan akhlak tasawuf itu?
2.
Bagaimanakah
langkah-langkah dari pembinaan akhlak tasawuf ?
3.
Apa saja
tujuan dari pembinaan akhlak Tasawuf ?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
hakekat pembinaan akhlak tasawuf.
2.
Menjelaskan
langkah-langkah pembinaan akhlak tasawuf.
3.
Mengetahui
tujuan pembinaan akhlak tasawuf.
D.
Metodologi
Penulisan
Penulisan
makalah ini menggunakan metode kepustakaan, yakni mendapatkan sumber informasi
yang berasal dari media cetak berupa buku dan media elektronik.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hakekat
Pembinaan Akhlak Tasawuf
Pembinaan akhlak bagi setiap muslim merupakan sebuah kewajiban yang harus
dikukan terus menerus tanpa henti baik melalui pembinaan orang lain maupun
pembinaan diri sendiri tanpa harus dituntun oleh orang lain. Pada hakikatnya
pembinaan akhlak tasawuf lebih merupakan pembinaan akhlak yang dilakukan
seseorang atas dirinya sendiri dengan tujuan jiwanya bersih dan perilakunya
terkontrol. Dalam dunia tasawuf istilah pendidikan diri sendiri
dapat dikenal dengan istilahTazkiyat al-Nafs, Tarbiyah al-Dzatiyah, dan Halaqah
Tarbawiyah.
B.
Langkah-langkah
Pembinaan Akhlak Tasawuf
Beribadah merupakan pengabdian
seorang hamba kepada Tuhannya (Allah Swt). Dalam mewujudkan pengabdianya
manusia berusaha untuk senantiasa bersih atau suci dari segala dosa-dosa yang
melekat pada diri manusia. Upaya-upaya tersebut sudah banyak dilakukan oleh
mereka yang ingin dekat dengan Allah Swt. Salah satunya adalah pembinaan akhlak
yang dalam pembahasan ini lebih ditekankan pada pembinaan akhlak melalui Tarbiyah Dzatiyah, Tarbiyah al-Nafs dan Halaqah Tarbawiyah.
Disinilah para ahli perjalanan kepada Allah mengambil
langkah pendekatan diri pada Tuhannya dengan cara muraqabah, muhasabah,
musyarathah, mujahadah dan mu’tabah,
dimana cara seperti ini sebagai salah satu sarana tazkiyatun nafs.[1]
Manusia yang senantiasa metazkiyah dirinya akan selalu mengingat bahwa Allah mengawasi
mereka, menanyai mereka dalam proses hisab, dan akan dituntut dengan berbagai
tuntutan yang sedetail-detailnya. Dan tidak ada sesuatu yang dapat
menyelamatkan mereka dari bahaya ini kecuali lazumul muhasabah (muhasabah
secara terus menerus), shidul
muraqabah (muraqabah secara
benar), muthalabatun nafsi
(menuntut jiwa) dalam semua nafas dan gerak dan muhasabah terhadap
jiwa dalam segala hal dan keadaan. Barangsiapa meng-hisab dirinya sebelum
dihisab, maka akan ringan hisabnya di hari kiamat, bisa menjawab pertanyaan
yang diajukan, dan mendapatkan tempat kembali yang baik. Tetapi barang siapa
yang tidak meng-hisab dirinya maka akan menyesal selamanya, akan lama
penantiannya di pelataran kiamat, dan berbagai keburukan akan menyeretnya
kepada kehinaan dan murka. Setelah hal itu terungkap, maka manusia akan
mengetahui bahwa tidak ada sesuatu yang dapat menyelamatkan mereka kecuali
ketaatan kepada Allah.
Dalam pada itu Allah telah memerintahkan mereka agar
bersabar dan bersiap siaga (murabathah).
FirmanNya “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah
kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga…” Mereka mempersiapsiagakan diri mereka
terlebih dahulu dengan musyarathah (menetapkan beberapa syarat),
kemudian dengan muraqabah, muhasabah, mu’aqabah, mujahadah
dan mu’atabah. Inilah
yang kemudian sebagai acuan dalam tazkiyah
al-nafs, yaitu upaya manusia membersihkan atau mensucikan dirinya
sebagai sarana mendekatkan diri pada Tuhannya.
Ada beberapa tahapan mempersiapkan diri (murabathah) dalam bertazkiyah yang memiliki keterkaitan
erat satu sama lain dan membangun
sistem pengawasan serta penjagaan yang kokoh. Kesemua tahapan tersebut penting
dijalani agar benar-benar menjadi “safety net” (jaring pengaman) yang
menyelamatkan manusia dari keterperosokan dan keterpurukan di dunia serta
kehancuran di akhirat nanti. Tahapan tersebut terbagi dalam enam maqam
(tingkatan), yaitu:
1. Musyarathah (Penetapan Syarat)
Penetapan syarat adalah permulaan seseorang melakukan
suatu kegiatan. Sebagai contoh tuntutan orang-orang yang terlihat dalam kongsi
perdagangan, ketika melakukan perhitungan, adalah selamatkan keuntungan.
Sebagaimana pedagang meminta bantuan kepada sekutu dagangnya lalu menyerahkan
harta kepadanya agar memperdagangkan kemudian memperhitungkannya. Demikian pula
akal, ia merupakan pedagang di jalan akherat. Apa yang menjadi tuntutan dan
keuntungan tidak lain adalah tazkiyatun
nafs karena dengan hal itulah keberuntungannya. Allah berfirman:
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya
merugilah orang yang mengotorinya.” Karena keberuntungan tidak lain adalah amal
shalih.[2]
Dalam perdagangan ini akal dibantu oleh jiwa, bila
dipergunakan dan dikerjakan untuk hal yang dapat mensucikannya, sebagaimana
pedagang dibantu oleh sekutu dan pembantunya yang memperdagangkan hartanya.
Sebagaimana sekutu bisa menjadi musuh dan pesaing yang memanipulasi keuntungan
sehingga perlu terlebih dahulu dibuat syarat (musyrathah), kemudian diawasi (muraqabah), diaudit (muhasabah) dan memberi sanksi (mu’aqabah) atau dicela (mu’atabah).
Demikian pula akal memerlukan musyrathah (penetapan syarat
kepada jiwa), lalu memberikan berbagai tugas, menetapkan berbagai syarat, mengarahkan
ke jalan kemenangan, dan mewajibkannya agar menempuh jalan tersebut. Kemudian
tidak pernah lupa mengawasinya, sebab seandainya manusia mengabaikannya niscaya
akan terjadi pengkhianatan dan penyia-nyiaan modal. Kemudian setelah itu ia
harus meng-hisabnya dan menuntut memenuhi syarat yang ditetapkan, karena bagi
manusia keuntungan perdagangan ini adalah syurga firdaus yang tertinggi dan
mencapai sidratul munthaha
bersama para nabi dan syuhada’. Oleh sebab itu memperketat hisab (perhitungan)
terhadap jiwa dalam hal ini jauh lebih penting ketimbang memperketat
perhitungan keuntungan dunia, karena keuntungan dunia sangat hina bila
dibandingkan dengan kenikmatan syurga, disamping kenikmatan dunia pasti lenyap.
Tidak ada kebaikan pada kebaikan yang tidak langgeng.
Maka menjadi keharusan bagi setiap orang yang beriman
kepada Allah dan hari akhir untuk tidak lalai untuk melakukan muhasabah terhadap jiwanya,
memperketat dalam berbagai gerak, diam, lintasan dan langkah-langkahnya.
Apabila hamba memasuki waktu shubuh dan telah usai melaksanakan shalat shubuh
maka hendaknya ia meluangkan hatinya untuk menetapkan syarat terhadap jiwanya
sebagaimana pedagang meluangkan pertemuan untuk menetapkan syarat-syarat kepada
sekutunya ketika ia menyerahkan barang dagangan kepadanya seraya berkata kepada
jiwa; “Aku tidak mempunyai barang dagangan kecuali umur, jika ia habis maka
habislah modal sehingga tidak ada harapan untuk melakukan perdagangan dan
mencari keuntungan. Di hari yang baru ini Allah telah memberi tempo (waktu)
kepadaku, dia memperpanjang usiaku dan melimpahkan nikmat kepadaku dengan usia
itu.
Seandainya Allah mematikan aku
niscaya aku akan berandi-manusia sekiranya Allah mengembalikan aku ke dunia
sehari saja agar aku beramal shalih.” Seandainya jiwa manusia telah meninggal
kemudian dikembalikan lagi ke dunia, maka janganlah menyia-nyiakan hari ini,
karena setiap nafas adalah mutiara yang tiada terkira nilainya. Perlu diketahui
bahwa sehari semalam adalah dua puluh empat jam, maka bersungguh-sungguhlah
hari ini untuk mengumpulkan bekal dan hindari kecenderungan pada kemalasan,
kelesuan dan santai yang menyebabkan tidak dapat meraih derajat ‘iltiyin sebagaimana orang yang
telah mendapatkannya.
2. Muraqabah (Pengawasan)
Muraqabah atau perasaan diawasi adalah upaya menghadirkan
kesadaran adanya muraqabatullah (pengawasan Allah). Istilah ini
diterapkan pada konsentrasi penuh waspada, dengan segenap jiwa, pikiran dan
imajinasi, serta pemeriksaan yang dengannya sang hamba mengawasi dirinya
sendiri dengan cermat.[3][6] Dengan kata lain muraqabah adalah upaya diri untuk senantiasa merasa terawasi
oleh Allah (muraqabatullah).
Jadi upaya untuk menghadirkan muraqabatullah
dalam diri adalah dengan jalan mewaspadai dan mengawasi diri sendiri.[4]
Bila hal tersebut tertanam secara baik dalam diri
seorang Muslim maka dalam dirinya terdapat ‘waskat’ (pengawasan melekat atau built in control) yakni sebuah
mekanisme yang sudah inheren, dalam dirinya. Artinya ia akan aktif mengawasi
dan mengontrol dirinya sendiri karena ia sadar senantiasa berada di bawah
pengawasan Allah seperti yang dinyatakan dalam al-Qur’an dan Hadits yang
artinya berikut ini:
1.“…Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan
Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Hadid ayat 4), “Dan
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan
hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya” (QS. Qaf ayat 16),
2.“Dan pada sisi Allahlah kunci-kunci semua yang ghaib,
tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri dan Dia mengetahui apa yang di
daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia
mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir pun dalam kegelapan bumi dan
tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang
nyata (Lauh Mahfuzh)” (QS. Al-An’am ayat 59).
3.(Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada
(sesuatu perbuatan) seberat biji sawi dan berada dalam batu atau di langit atau
di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya) sesungguhnya
Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (QS. Luqman ayat 16).
4.Kemudian dalam HR. Ahmad, Nabi Saw bersabda, “Jangan
engkau mengatakan engkau sendiri, sesungguhnya Allah bersamamu. Dan jangan pula
mengatakan tak ada yang mengetahui isi hatimu, sesungguhnya Allah mengetahui”.
Muraqabatullah atau
kesadaran tentang adanya pengawasan Allah akan melahirkan ma’iyatullah (kesertaan Allah)
seperti nampak pada keyakinan Rasulullah SAW (QS. At-Taubah ayat 40) bahwa
“Sesungguhnya Allah bersama kita”, ketika Abu Bakar r.a sangat cemas musuh akan
bisa mengetahui keberadaan Nabi dan menangkapnya. Begitu pula pada diri Nabi
Musa a.s ketika menghadapi jalan buntu karena di belakang tentara Fir’aun
mengepung dan laut merah ada di depan mata. Namun ketika umat pengikutnya panik
dan ketakutan, beliau sangat yakin adanya kesertaan Allah. Ia berkata,
“Sekali-kali tidak (akan tersusul). Rabbku
bersamaku. Dia akan menunjukiku jalan”. Kemudian akhirnya Nabi Ibrahim a.s juga
dapat menjadi contoh agung tentang kesadaran akan kesertaan dan pertolongan
Allah, Yakni ketika beliau diseret dan dibakar di api unggun, beliau tetap
tenang. Dan benar saja terbukti beliau keluar dari api unggun dalam keadaan
sehat wal afiat karena Allah telah memerintahkan makhluknya yang bernama api
agar menjadi dingin.
Apabila
manusia telah mewasiati jiwanya dan menetapkan syarat kepadanya dengan apa yang
telah disebutkan di atas maka langkah selanjutnya adalah mengawasi (muraqabah) ketika melakukan berbagai amal perbuatan dan memperhatikan
dengan mata yang tajam, karena jika dibiarkan pasti akan melampaui batas dan
rusak.
Berikut ini akan disebutkan keutamaan muraqabah dan derajat-derajatnya.
Tentang keutamaan muraqabah,
Jibril ‘alaihi salam
pernah bertanya tentang ihsan lalu Rasulullah Saw menjawab: “Engkau beribadah
kepada Allah seolah-olah engkau melihatnya” (Bukhari dan Muslim). Hadits
selanjutnya adalah “Beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya,
sekalipun kamu tidak melihata-Nya tetapi Dia melihatmu” (diriwayatkan Abu Nu’aim
di dalam Al- Hilyah, Hadits ini ahsan). Kemudian ayat-ayat dalam al-Qur’an yang
mendukung keutamaan muraqabah adalah: “Maka apakah Tuhan yang menjaga sedap
diri terhadap apa yang diperbuatnya (sama dengan yang tidak demikian
sifatnya)?” (QS. Ar-Ra’d ayat 33), “Tidaklah dia mengetahui bahwa sesungguhnya
Allah melihat segala perbuatannya?” (QS. Al-Alaq ayat 14), “Sesungguhnya Allah
selalu menjaga dan mengawasi kamu” (QS. An-Nisa’ ayat 1), “Dan orang-orang yang
memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang yang
memberikan kesaksiannya” (QS. Al-Ma’arij ayat 32-33).
Sebagaimana
diceritakan bahwa sebagian dari manusia bertanya tentang firman Allah: “Allah
ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah
(balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya” (QS. Al-Bayianah ayat 8). Ia
menjawab maknanya: maknanya yang demikian itu bagi orang yang merasakan muraqabah Tuhannya, meng-hisab dirinya dan membekali diri untuk akheratnya.
Dzun Nun pernah ditanya: dengan apakah seorang hamba mencapai syurga? Ia
menjawab: “Dengan lima hal yaitu, istiqamah yang tidak mengandung kelicikan,
keseriusan yang tidak disertai kelalaian, muraqabatullah ta’ala dalam
sunyi dan keramaian, menantikan kematian dengan penuh kesiapan terhadapnya, dan
memuhasabah jiwamu sebelum kamu dihisab.”
Manusia,
dalam segala ihwal keadaannya, tidak terlepas dari gerak dan diam. Apabila ia
merasakan muraqabatullah dalam
semua hal tersebut dengan niat, perbuatan yang baik dan menjaga adab maka ia
adalah orang yang telah melakukan muraqabah. Jika ia sedang duduk
misalnya maka seyogyanya ia duduk menghadap kiblat mengingat sabda Rasullullah
SAW: “Sebaik- baik majlis adalah yang menghadap kiblat” (Di riwayatkan oleh Al-
Hakim), jika ia tidur di atas tangan dan menghadap kiblat dengan tetap menjaga
semua adabnya. Semua itu masuk dalam muraqabah. Bahkan sekalipun tengah
membuang hajat, ia tetap menjaga adab-adabnya demi komitmen kepada muraqabah.
Seorang
hamba tidak terlepas dari tiga keadaan: dalam ketaatan, atau dalam kemaksiatan
atau dalam hal yang mubah. Muraqabah-nya
dalam ketaatan ialah dengan ikhlas, menyempurnakan, menjaga adab dan
melindunginya dari berbagai cacat. Dalam kemaksiatan, maka muraqabahnya ialah dengan taubat,
melepaskan, malu dan sibuk melakukan tafakur. Jika dalam hal yang mubah, maka muraqabah-nya ialah dengan menjaga
adab kemudian menyaksikan pemberi nikmat dalam kenikmatan yang didapat dan
mensyukurinya.
Dalam semua
keadaan, seorang hamba tidak tidak terlepas dari ujian yang harus disikapinya
dengan kesabaran, dan nikmat yang harus disyukurinya. Semua itu adalah muraqabah. Bahkan dalam
keadaannya, seorang hamba tidak terlepas dari fardhu Allah kepadanya yang harus
dilaksanakan, atau larangan yang harus dihindarinya, atau anjuran yang yang
dianjurkannya kepadanya agar ia bersegera mendapatkan ampunan Allah dan berpacu
dengan hamba-hamba Allah, atau hal yang mubah yang memberikan kemaslahatan
jasad dan hatinya di samping menjadi dukungan terhadap ketaatannya. Masing-
masing dari hal tersebut memiliki batasan-batasan yang harus dijaga dengan
senantiasa muraqabah:
“Dan barang siapa melanggar batas-batas Allah maka sesungguhnya dia telah
berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri” (QS. At- Thalaq ayat 1). Seorang hamba
harus mengontrol diriya dalam semua waktunya dalam ketiga hal tersebut. Jika
telah menyelesaikan berbagai kewajiban dan mampu melakukan berbagai keutamaan
maka hendaknya ia mencari amal yang paling utama untuk ditekuninya. Jika luput
mendapatkan tambahan keuntungan padahal ia mampu untuk mendapatkannya maka ia
adalah orang yang terpedaya. Berbagai keuntungan diperoleh melalui berbagai
keutamaan yang istimewa. Dengan hal itulah seorang hamba menjadikan bagian
dunianya untuk akhirat, sebagaimana firman Allah: “Dan janganlah kamu melupakan
bagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS. Al-Qashas ayat 77). Demikian murabathah yang kedua dengan senantiasa mengawasi amal perbuatan ini.
3. Muhasabah
(Intropeksi)
a. Hakekat
Muhasabah
Muhasabah adalah
menganalisa terus menerus atas hati berikut keadaannya yang selalu berubah. Muhasabah juga berarti usaha
seorang Muslim untuk menghitung, mengkalkulasi diri seberapa banyak dosa yang
telah dilakukan dan mana-mana saja kebaikan yang belum dilakukannya. Selama muhasabah, orang yang merenung pun
memeriksa gerakan hati yang paling tersembunyi dan paling rahasia. Dia
menghisab dirinya sendiri sekarang tanpa menunggu hingga Hari Kebangkitan.[5]
Jadi muhasabah adalah sebuah upaya untuk selalu menghadirkan kesadaran
bahwa segala sesuatu yang dikerjakannya tengah dihisab, dicatat oleh Malaikat
Raqib dan Atid sehingga ia pun berusaha aktif menghisab dirinya terlebih dulu
agar dapat bergegas memperbaiki diri.
Arti muhasabah terhadap mitra usaha ialah meninjau modal,
keuntungan dan kerugian, untuk mencari kejelasan apakah bertambah atau
berkurang. Jika didapatinya bertambah maka pedagang tersebut mensyukurinya
tetapi jika didapatinya merugi maka ia mencarinya dengan menjaminnya dan
berusaha mendapatkannya di masa mendatang. Demikian pula modal hamba dalam
agamanya adalah berbagai kewajiban, keuntungannya adalah berbagai amal sunnah
dan keutamaan, sedangkan kerugiannya adalah berbagai kemaksiatan.
b. Keutamaan Muhasabah
Berikut ini
adalah keutamaan muhasabah.
Tentang keutamaan muhasabah, Allah berfirman: “Hai orang-orang
yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan
apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)” (QS. Al-Hasyr ayat 18).
Ini adalah isyarat kepada muhasabah terhadap amal perbuatan yang telah
dikerjakan. Oleh karena itu Umar ra berkata, “hisablah dirimu sebelum kamu
dihisab, dan timbanglah dia sebelum kamu ditimbang.”
Seoarang hamba memulai muhasabahnya. dengan bertaubat
pada Allah SWT. Sebagaimana dalam firman Allah: “Dan bertaubatlah kamu sekalian
kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung” (QS. An-Nur
ayat 31). Taubat adalah meninjau perbuatan dengan menyesalinya setelah
dikerjakan. Nabi SAW bersabda dalam sebuah Hadits Shahih: Sesungguhnya aku
memohon ampunan kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya seratus kali dalam
sehari.”
Dalam ayat lain Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari
syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat
kesalahan-kesalahannya” (QS. al- A’raf ayat 201).
Dari Umar
ra bahwa ia memukul kedua kakinya dengan cemeti apabila malam telah larut
seraya berkata pada dirinya;
“Apakah yang telah kamu perbuat hari ini?”
Dari Maimun bin Mahran bahwa ia berkata: “Seorang hamba tidak termasuk golongan
muttaqin sehingga dia menghisab dirinya lebih keras ketimbang muhasabahnya
terhadap mitra usahanya. Al-Hasan berkata: “Orang mukmin selau mengevaluasi
dirinya, ia menghisabnya karena Allah. Hisab akan menjadi ringan bagi
orang-orang yang telah menghisab diri mereka di dunia, dan akan menjadi berat
pada hari kiamat bagi orang-orang yang mengambil perkara ini tanpa muhasabah.”[6]
Tentang firman Allah: “Dan Aku bersumpah
dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)” (QS. al-Qiyamah ayat 2).
Penyesalan ini akan dapat mendorong seseorang untuk mengevaluasi atau
memperbaiki kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan, sehingga perbuatan yang
akan dijalani dapat terkontrol dengan baik. Inilah keutamaan muhasabah.
4. Mu’aqabah
(Menghukum Diri atas Segala Kekurangan)
Selain sadar akan pengawasan (muraqabah)
dan sibuk mengkalkulasi diri, maka perlu meneladani para sahabat dan salafus-shaleh dalam meng’iqab (menghukum atau menjatuhi sanksi atas diri mereka sendiri). Bila
Umar r.a terkenal dengan ucapan: “Hisablah dirimu sebelum kelak engkau
dihisab”, maka mu’aqabah dianalogikan dengan ucapan tersebut yakni “Iqablah dirimu sebelum kelak engkau diiqab”. Umar Ibnul Khathab pernah
terlalaikan dari menunaikan shalat dzuhur berjamaah di masjid karena sibuk
mengawasi kebunnya. Lalu karena ia merasa ketertambatan harinya kepada kebun
melalaikannya dari bersegera mengingat Allah, maka ia pun cepat-cepat
menghibahkan kebun beserta isinya tersebut untuk keperluan fakir miskin. Hal serupa itu pula yang dilakukan Abu Thalhah ketika
beliau terlupakan berapa jumlah rakaatnya saat shalat karena melihat burung
terbang. Ia pun segera menghibahkan kebunnya beserta seluruh isinya,
subhanallah.
Betapapun
manusia telah menghisab dirinya tetapi ia tidak terbebas sama sekali dari
kemaksiatan dan melakukan kekurangan berkaitan dengan hak Allah sehingga ia
tidak pantas mengabaikannya, jika ia mengabaikannya maka ia akan mudah terjatuh
melakukan kemaksiatan, jiwanya menjadi senang kepada kemaksiatan, dan sulit
untuk memisahkannya. Hal ini merupakan sebab kehancurannya, sehingga harus
diberi sanksi. Apabila ia memakan sesuap subhat dengan nafsu syahwat maka
seharusnya perut dihukum dengan rasa lapar. Apabila ia melihat orang yang bukan
muhrimnya maka seharusnya mata dihukum dengan larangan melihat. Demikian pula
setiap anggota tubuhnya dihukum dengan melarangnya dari syahwatnya.
Kami menyebutkan hadits Abu Thalhah,
ketika hatinya tidak khusu’ karena memperhatikan seekor burung di kebunnya lalu
ia menshadaqahkan kebunnya
sebagai kafarat hal tersebut. Demikian pula ‘Umar memukul kedua kakinya dengan
cemeti setiap malam seraya berkata: Apa yang telah kamu perbuat hari ini?
Demikian
pula sanksi orang-orang yang bersikap tegas terhadap jiwa mereka. Hal yang
mengherankan bahwa manusia menghukum budak, istri dan anak manusia atas akhlak
buruk yang mereka lakukan dan keteledoran mereka terhadap suatu perintah, dan
manusia memaafkan mereka niscaya urusan mereka akan rusak dan mereka tidak
mentaatinya, tetapi kemudian manusia membiarkan nafsu syaitan yang merupakan
musuh terbesar bagi manusia menyelimuti jiwanya. Sekiranya manusia berfikir
mendalam niscaya manusia menyadari bahwa kehidupan yang sebenarnya adalah
kehidupan akhirat, karena di dalamnya terdapat kenikmatan abadi yang tiada
ujungnya. Tetaoi nafsu itulah yang mengerohkan kehidupan akhirat manusia
sehingga dia lebih pantas mendapatkan sanksi (mau’aqobah) ketimbang yang lainya.
5. Mujahadah (Bersungguh-Sungguh)
Mujahadah adalah
upaya keras untuk bersungguh-sungguh melaksanakan ibadah kepada Allah, menjauhi
segala yang dilarang Allah dan mengerjakan apa saja yang diperintahkan-Nya.
Kelalaian sahabat Nabi Saw yakni Ka’ab bin Malik sehingga tertinggal rombongan
saat perang Tabuk adalah karena ia sempat kurang bermujahadah untuk
mempersiapkan kuda perang dan sebagainya. Ka’ab bin Malik mengakui dengan jujur
kelalaian dan kurangnya mujahadah pada dirinya.[7]
Ternyata Ka’ab harus membayar sangat mahal berupa
pengasingan atau pengisoliran selama kurang lebih 50 hari sebelum akhirnya
turun ayat Allah yang memberikan pengampunan padanya.
Rasulullah Muhammad SAW
terkenal dengan mujahadahnya yang luar biasa dalam ibadah seperti dalam shalat
tahajudnya. Kaki beliau sampai bengkak karena terlalu lama berdiri. Namun
ketika bukankah sudah diampuni, seluruh dosamu yang lalu dan yang akan datang.
Beliau menjawab,“Salahkah aku bila menjadi ‘abdan syakuran (hamba yang
senantiasa bersyukur)?”
Diriwayatkan dari
seseorang dari sahabat ‘Ali bin Abi Thalib ra bahwa ia berkata: “aku pernah
shalat shubuh di belakang ‘Ali ra. Ketika salam, Ia menoleh kesebelah kanannya
dengan sedih hati lalu diam hingga terbit matahari kemudian membalik tangannya
seraya berkata:
“Demi Allah, aku melihat para shahabat Muhammad SAW dan sekarang aku tidak
melihat sesuatu yang menyerupai mereka sama sekali. Mereka dahulu berdebu dan
pucat pasi, mereka melewatkan malam hari dengan sujud dan berdiri karena Allah,
mereka membaca kitab Allah dengan bergantian pijakan kaki dan jidat mereka,
apabila menyebut Allah, mereka bergetar seperti pohon bergetar terterpa angin,
mata mereka mengucurkan air mata membasahi pakaian mereka, dan orang-orang
sekarang seakan-akan lalai (bila dibandingkan dengan mereka).”
Demikian peri kehidupan
generasi salaf yang shalih dalam mensiapsiagakan jiwa dan mengawasinya (murabathah dan muraqabah). Sehingga mereka dapat bermujahadah
melaksanakan ibadah dengan sungguh-sungguh.
6. Mu’atabah (Mencela Diri)
Terakhir
dari tingkatan murabathah ini adalah Mu’atabah. Mu’atabah mengandung arti perlunya
memonitoring, mengontrol dan mengevaluasi sejauh mana proses-proses tersebut
seperti mujahadah dan seterusnya berjalan dengan baik.
Dalam
melakukan mu’atabah
adalah mengetahuilah terlebih dahulu bahwa musuh bebuyutan dalam diri manusia
adalah nafsu yang ada di dalam dirinya. Ia diciptakan dengan karakter suka
memerintahkan pada keburukan, cenderung pada kejahatan, dan lari dari kebaikan.
Manusia diperintahkan agar mensucikan, meluruskan dan menuntunnya dengan rantai
paksaan untuk beribadah kepada Tuhan, dan mencegahnya dari berbagai syahwatnya
dan menyapihnya dari berbagai kelezatannya. Jika mengabaikannya maka ia pasti
merajalela dan liar sehingga manusia tidak dapat mengendalikannya setelah itu.
Jika manusia senantiasa mencela dan menegurnya kadang-kadang ia tunduk dan
menjadi nafsu lawwamah (yang amat menyesali dirinya) yang
dipergunakan oleh Allah untuk bersumpah, dan manusia tidak berharap menjadi
nafsu muthma’innah (yang tenang) yang mengajak untuk
masuk ke dalam rombongan hamba-hamba Allah yang ridha dan diridhai. Maka
hendaklah manusia tidak lupa sekalipun sesaat untuk mengingatkannya, dan
hendaknya seorang hamba sibuk menasehati orang lain jika ia tidak sibuk terlebih
dahulu menasehati dirinya sendiri.
C.
Tujuan
Pembinaan Akhlak Tasawuf
Melihat
dari segi tujuan akhir setiap ibadah adalah pembinaan takwa. Bertakwa
mengandung arti melaksanakan segala perintah agama dan meninggalkan segala
perintah agama dan meninggalkan segala larangan agama. Orang yang bertakwa
berarti orang yang berakhlak mulia, berbuat baik dan berbudi luhur.
Di
dalam pendekatan diri kepad Allah, anusia selalu diingatkan kepada hal-hal yang
bersih dan suci. Ibadah yang dilakukan semata-mata ikhlas dan mengantar
kesucian seseorang menjadi tajam dan kuat. Sedangkan jiwa yang suci membawa
budi pekerti yang baik dan luhur. Oleh karena itu, ibadah disamping latihan
spiritual juga merupakan latihan sikap dan meluruskan akhlak.
BAB III
PENUTUP
Dalam hakikat pembinaan
akhlak terdapat tiga hakikat, yaitu: tazkiyah annafs, tarbiyah dzatiyah, dan
halaqah tarbawiyah, yang masing-masing memiliki pengertian, sarana untuk
mewujudkannya,serta buah hasil realisasinya.
Langkah-langkah pembinaan akhlak, antara lain:
a.
Musyarathah
b. Muraqabah
c. Muhasabah
d. Mu’aqabah
e. Mujahadah
f. Mu’atabah.
Tujuan
pembinaan akhlak tersebut yaitu dalam rangka membina takwa untuk meraih ridho
Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Khoiri, Alwan, dkk.
2005. Akhlak/Tasawuf. Yogyakarta: Pokja
Akademik UIN Sunan Kalijaga
Hidayat, Nur. 2013. Akhlak Tasawuf. Yogyakarta: Ombak
Abdullah,
yatimin. 2007. Studi akhlak dalam perspektif Al Qur’an. Jakarta: Amzah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar