MAKALAH
KAIDAH USHULIYYAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah: Ushul Fiqh
Dosen Pengampu: Ali Muhtarom, M, S. I
Disusun Oleh :
Muhammad Faidlullah (2021215504)
Mudhofar (2021215517)
Kelas L
JURUSAN TARBIYAH / PAI
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
PEKALONGAN
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Ushul Fiqh sebagai cabang ilmu yang selalu berkutat dengan hukum
pastinya memiliki pedoman. Pedoman atau yang disebut dengan kaidah tersebut
menjadi pegangan yang harus dipelihara oleh para mustanbith dalam
menggali hukum, baik dari nash maupun dari yang tidak ada nashnya.
Alasan mengapa harus memelihara kaidah ini tidak lain adalah agar
hukum yang akan dipilih sesuai dengan tujuan Syari’ yaitu kemaslahatan manusia.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa
pengertian Kaidah Ushuliyah?
2.
Apa
pengertian Kaidah Fiqhiyyah?
3.
Apa
perbedaan antara Kaidah Ushuliyah dan Kaidah Fiqhiyyah?
4.
Apa
contoh Kaidah Ushuliyyah?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Mengetahui
pengertian Kaidah Ushuliyah
2.
Mengetahui
pengertian Kaidah Fiqhiyyah
3.
Mengetahui
perbedaan antara Kaidah Ushuliyah dan Kaidah Fiqhiyyah
4.
Mengetahui
contoh Kaidah Ushuliyyah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Kaidah
Ushuliyah
1. Pengertian
Qowaaid
adalah bentuk jama’ dari qaaidah, qaaidah adalah sesuatu yang dijadikan
pijakan atau pegangan.[1]
Kaidah
Ushuliyyah adalah kaidah-kaidah hukum yang timbul dari lafal atau nash.
Contohnya seperti kaidah yang menyebutkan bahwa perintah menunujukkan
kewajiban, larangan menunjukkan keharaman, dan lafal-lafal tertentu bisa
menerima nasakh.[2]
Sedangkan
Kaidah Fiqhiyyah adalah Kaidah-kaidah yang bisa membatasi cabang-cabang ilmu
fiqh yang sangat luas. Kaidah Fiqhiyyah juga mencakup berbagai rahasia hukum
syara’ dan hikmahnya.
2. Perbedaan
Kaidah Ushuliyah dan Kaidah Fiqhiyyah
Kaidah
Fiqhiyyah berbeda dengan Kaidah Ushuliyyah. Meskipun keduanya memiliki peran
dan tujuan yang sama, yaitu sebagai metode ijtihad untuk mengeluarkan hukum
dari sumber-sumbernya.[3]
Perbedaan antara keduanya sebagai berikut:
a. Kaidah
Ushuliyah sebagai sekumpulan peraturan (qanun) yang harus dipergunakan oleh
para ahli fikih agar terpelihara dari kesalahan dalam ber-istinbath.
Sedangkan Kaidah Fiqhiyyah merupakan sekumpulan kaidah yang menghimpun berbagai
masalah yang sama. Kaidah ini merupakan hasil pengumpulan dari beberapa masalah
yang serupa (al-asybah wa an-nadho’ir)
atau hukum-hukum juz’iyyah.
b. Jika
dihubungkan dengan Fiqh, maka Kaidah Ushuliyyah merupakan parameter bagi
istinbath yang benar. Posisinya seperti ilmu nahwu dalam bercakap-cakap dan
menulis kalimah. Kaidah Ushuliyah merupakan jembatan penghubung antara hukum
dan sumbernya, yang obyek pembahasannya adalah dalil dan hukum. Adapun Kaidah
Fiqhiyyah merupakan Kaidah Universal (kuliyyah) yang unsur-unsur juz’inya
terdiri atas beberapa masalah fiqih dan obyek pembahasannya adalah perbuatan
orang mukallaf.
c. Kaidah
Ushuliyyah adalah kaidah-kaidah kulliyyah yang dapat diaplikasikan
kepada seluruh unsur juz’i dan obyek pembahasannya, tanpa terkecuali. Adapun
kaidah al-fiqhiyyah merupakan kaidah aghlabiyyah (mayoritas) yang diaplikasikan
kepada sebagian besar juz’inya. Sebab, dalam kaidah ini ada pengecualian (mustasnayat)nya.
d. Kaidah
Ushuliyyah merupakan sarana untuk mengeluarkan
hukum syara’ yang praktis, sementara Kaidah Fiqhiyyah adalah kumpulan
hukum serupa (al-mutasyabih lah) yang memiliki illat yang sama.
e. Kaidah
Ushuliyyah muncul sebelum furu’ (cabang), sedangkan Kaidah Fiqhiyyah muncul
setelah furu’ (cabang).
f. Obyek kajian Kaidah Ushuliyyah adalah
dalil-dalil hukum dan sebagai aspeknya sedangkan obyek kajian Kaidah Fiqhiyyah adalah
perbuatan mukallaf yang ditetapkan dalam hukum syara’.
g. Secara
umum, Kaidah Ushuliyyah muncul lebih dahulu daripada Kaidah Fiqhiyyah. Sebab,
obyek utama kajian Kaidah Ushuliyyah adalah sumber-sumber hukum dan istidlal
yang sudah dimulai sejak zaman Nabi.
h. Sebagian
besar Kaidah Ushuliyyah tidak mengkaji hikmah tasyri’ dan tujuannya, tetapi
mengkaji cara pengeluaran hukum dari lafal-lafal syar’i. Adapun Kaidah
Fiqhiyyah berupaya mengkaji tujuan dari mengeluarkan hukum tersebut, baik
secara umum maupun khusus, disamping sebagai parameter dalam mengidentifikasi
rahasia-rahasia hukum dan hikmahnya.[4]
B. Contoh-Contoh
Kaidah Ushuliyyah
Kaidah
Ushuliyyah dibagi menjadi dua bagian yakni:
1. Kaidah
Ushuliyah Lughowiyah
Sumber-sumber hukum Islam baik al-Qur’an
dan As-Sunnah keduanya berbahasa arab. Maka untuk memahami hukum syariat
dibutuhkan pengetahuan uslub bahasanya, metode dalalahnya, dan penunjukkan lafal
baik secara mufrad maupun murakkab. Dari sinilah ulama’ ushul
fiqh bereksperimen dengan bahasa sehingga muncul kaidah-kaidah kebahasaan (lughowiyah).[5] Kaidah
ini meliputi tujuh kaidah yakni:
a. Kaidah
Ke-1 Metode Dalalah Nash
·
Ibarot an-Nash
(makna yang langsung bisa dipahami dari bentuk kalimatnya). Contoh: وأحلّ
الله البيع و حرّم الرّبا
Kehalalan jual-beli dan keharaman riba langsung
dapat dipahami dari bentuk nash.
·
Isyarot an-Nash
(makna tidak bisa langsung dimengerti, namun diperlukan perenungan karena ia
adalah makna lazim).
Contoh:المولود
له رزقهنّ وكسوتهنّ بالمعروف وعلى
Secara ibarot an-nash, nash tersebut menunjukkan
wajibnya ayah memberi nafkah kepada istri berupa rizki dan pakaian. Secara
isyarot an-nash, dipahami sesungguhnya ayahlah satu-satunya yang menanggung
nafkah anak-anaknya, karena mereka adalah miliknya bukan orang lain. Hal ini
berimplikasi pada hukum perwalian terhadap anak, dalam hal waris ayah juga
menjadi ashobah (penerima sisa) jika anaknya meninggal dan tidak
mempunyai anak, atau mempunyai anak namun perempuan. Juga karena anak milik
ayah, maka semua harta kekayaan anak juga menjadi milik ayah.
·
Dalalat an-Nash
(makna yang dipahami dari ruh nash dan rasionalitasnya)
Contoh: فلا تقل لهما أفّ
Ibarotnya menunjukkan larangan anak mengatakan “ah”
pada orang tuanya. Sedangkan illat dalam pelarangan tersebut adalah segala
sesuatu yang menyakiti orang tua.
·
Iqtidlo’ an-Nash
(makna yang tidak tampak dalam perkataan yang mana makna kalimat tersebut tidak
bisa tegak atau didapat kecuali dengan mengira-ngirakannya atau memasukkannya)
Contoh: حرّمت
عليكم أمّهاتكم وبناتكم
Yakni yang diharamkan adalah menikahi mereka. Kata
“menikahi” perlu disisipkan karena tuntutan nash tersebut memang seperti itu.
b. Kaidah
Ke-2 Mafhum Mukhalafah
Definisinya sendiri adalah hukum yang
tersirat (tidak terucap) yang berbeda dengan yang tersurat (diucapkan), baik
dalam menetapkan atau meniadakan hukum. Metode ini tidak bisa didapatkan dengan
4 metode dalalah diatas. Selanjutnya mafhum mukholafah dapat dilihat dari segi
sifat, syarat, ghoyah (batasan), dan adad (bilangan).
Contoh:
وحلائل أبنائكم الّذين من أصلابكم
Nash menunjukkan haramnya menikahi
istri-istri dari anak kandung. Maka mafhum mukholafahnya yaitu halal menikahi
istri-istri anak yang bukan kandung. Ini termasuk mafhum al-washf (dari segi
sifat).
c. Kaidah
Ke-3 Kejelasan Dalalah dan Tingkatannya
Sesuai urutan jelasnya dalalah dari yang
terendah hingga yang tertinggi dibagi menjadi 4, yakni:
1) Dhohir
Ia adalah sesuatu yang menunjukkan makna
dengan bentuk kalimatnya, tanpa bergantung kepada aspek luar. Tetapi makna
tersebut bukan makna asal (ashalah) dari runutan kalam, serta dhohir
memungkinkan ta’wil.
Contoh: وأحلّ
الله البيع و حرّم الرّبا
Kehalalan setiap jual beli dan haramnya
setiap riba menjadi makna dhohir karena dapat langsung dipahami tanpa
membutuhkan qarinah. Namun makna tersebut bukanlah maksud asal dari
runutan ayat karena ayat tersebut runutan asalnya bertujuan untuk meniadakan
persamaan antara jual beli dan riba bukan untuk menjelaskan hukum keduanya. Hal
itu sebagai argumen bagi orang-orang yang berkata, “Bahwasanya jual beli itu
sama halnya dengan riba”.[6]
2) Nash
Ia adalah sesuatu yang menunjukkan makna
dengan bentuk kalimatnya, tanpa bergantung kepada aspek luar, sebagai makna
asal yang dituju oleh runutan kalam. Contoh: وأحلّ
الله البيع و حرّم الرّبا
Nash-nya yaitu tiada persamaan antara
jual beli dan riba.
3) Mufassar
Ia dengan sendirinya menujukkan makna
yang terperinci. Dan rincian tersebut tidak menerima ta’wil, sehingga wajib
diamalkan beserta rincian-rinciannya. Contohnya yakni ayat dalam orang-orang
yang menuduh zina.
فاجلدوهم ثمانين جلدة
Maka bilangan yang tertentu tersebut
tidak mungkin ditambah dan dikurangi serta tidak bisa dikehendaki pada selain
maknanya.
Termasuk dari mufassar ayat-ayat
al-Qur’an yang asalnya bersifat global namun dirinci dengan as-Sunnah. Contoh: وأقيموا
الصلاة dirinci
dengan hadits
كما
رأيتموني أصلّي
صلّوا.
4) Muhkam
Ia menunjukkan maknanya yang mana tidak
menerima pembatalan, penggantian dan ta’wil. Contoh: menyembah kepada Allah,
iman kepada rasul dan kitab (hukum dasar kaidah agama), birrul walidain,
adil (pokok-pokok keutamaan yang tidak akan berubah lantaran perubahan
kondisi), dan hukum tidak diterimanya persaksian penuduh zina selamanya (hukum
cabang juz’i yang ditunjukkan oleh syari’ berlaku selamanya).
d. Kaidah
Ke-4 Kesamaran Dalalah dan Tingkatannya
Sesuai urutan samarnya dalalah dari yang
terendah hingga yang tertinggi dibagi menjadi 4, yakni:
1) Al-Khofiy
Ia adalah nash yang belum jelas
maksudnya yang ketidak jelasannya tersebut bukan dari bentuk nash, melainkan
ketika diterapkan pada bagian-bagian lain yang sejenis, terdapat makna yang
kabur dan tersembunyi, sehigga perlu penalaran untuk menegaskan makna yang
kabur tersebut.
Contoh: والسارق
والسارقة فاقطعوا أيديهما
As-Sariq
(pencuri) adalah orang yang mengambil barang berharga milik orang lain dengan
cara sembunyi-sembunyi di tempat yang terlindungi, tanpa izin pemiliknya.
Tetapi ada kesamaran ketika diterapkan pada bagian-bagian lain yang sejenis.
Seperti an-Nasyal, orang yang mengabil harta dengan terang-terangan di
depan umum dengan macam-macam ketangkasan dan kecepatan tangan. Dan juga an-Nabasy
yang mengambil harta yang tidak disenangi pada umumnya dari kuburan, seperti
kain kafan. Keduanya berbeda sifatnya dengan as-Sariq. Lantas apakah
keduanya harus dipotong tangan, menurut Imam Syafi’i dan Abi Yusuf keduanya
adalah pencuri maka harus dipotong tangannya. Sedangkan menurut ulama’
Hanafiyah, an-Nasyal akan dikenai potong tangan apabila harta yang
diambil masih dalam tempat penjagaan seperti saku dan lengan, dan an-Nabasy
bukanlah pencuri maka ia diberi sanksi atau ta’zir tanpa dipotong tangannya.[7]
2) Al-Musykil
Ia adalah lafal yang dengan bentuk
kalimatnya belum menunjukkan maknanya, sehingga perlu unsur lain untuk menjelaskan
maknanya tersebut.
Contoh: والمطلّقات
يتربّصن بأنفسهنّ ثلاثة قروء
Makna quru’ tidak bisa dipahami
dengan sendirinya karena secara bahasa ia berarti suci dan haid. Perlu qarinah
lain dalam memahami makna mana yang diharapkan dalam ayat diatas. Menurut Imam
Syafi’i dan beberapa mujtahid, makna quru’ dalam ayat ini adalah suci (thuhr)
berdasarkan adad yang digunakan. Sedangkan menurut ulama’ hanafiyah dan
kelompok lain dari mujtahid, makna quru’ dalam ayat adalah haid.
Berdasarkan hikmah dari pensyariatan iddah yakni untuk mengetahui bersihnya
rahim dan haid menjadi tanda bahwa rahim bersih dari adanya pembuahan. Dan juga
pendapat ini didasari ayat dan hadits.
3) Al-Mujmal
Ia adalah lafal yang dengan bentuk
kalimatnya tidak menunjukkan makna yang dimaksud, tanpa ada qarinah baik secara
lafal maupun konteks yang menjelaskannya. Dan Syari’ sendiri yang akan
menjelaskannya. Contoh:
§ lafal
Sholat, Zakat, Shiyam, Hajj, dan Riba yang kesemuanya itu sudah
keluar dari makna bahasanya dan yang diharapkan oleh Syari’ adalah makna
istilah syar’inya. Sunnah lah yang nanti
akan menjelaskan maknanya.
§ Lafal-lafal
yang ghorib (asing) yang dijelaskan oleh nash sendiri, seperti al-qoriah
dalam surat al-qoriah, yang dijelaskan ayat selanjutnya.
4) Al-Mutasyabih
Ia adalah lafal yang dengan bentuk
kalimatnya tidak menunjukkan makna yang dimaksud, tanpa ada qarinah baik secara
lafal maupun konteks yang menjelaskannya. Dan Syari’ tidak memberi penjelasan.
Contoh: الم,
الر, يس, ن, ق
Termasuk dari Mutasyabih yaitu ayat-ayat
yang secara dhohir terdapat penyerupaan Allah dengan makhluknya. Contoh:يد
الله فوق أيديهم
e. Kaidah
Ke-5, Ke-6, dan Ke-7 adalah Musytarok dan dalalahnya, Am dan dalalahnya, dan Khosh
dan dalalahnya.
Penjelasan secara singkatnya yakni
Musytarok adalah lafal yang mempunyai makna lebih dari satu, Am adalah lafal
yang menunjukkan atas tercakupnya seluruh kesatuan-kesatuan yang sesuai tanpa
ada batasan, dan Khosh adalah lafal yang menunjukkan atas satu kesatuan atau
kesatuan-kesatuan yang sesuai maknanya secara terbatas (tidak menyeluruh).[8]
2. Kaidah
Ushuliyah Tasyri’iyyah
Kaidah-kaidah Ushuliyyah Tasyri’iyyah
ini menjadi landasan bagi ulama’ Ushul Fiqh dalam meneliti hukum-hukum syar’i
dan dalam meneliti illat dan hikmah dari hukum syar’i.[9]
Dari nash-nash yang ada ditetapkanlah dasar-dasar dan pokok-pokok pensyariatan.
Seperti halnya memelihara dasar-dasar pensyariatan dalam istinbath hukum dari
nash-nash adalah keharusan maka memeliharanya dalam beristinbath hukum dalam
perkara yang tidak ada nashnya menjadi lebih harus lagi, supaya pensyariatan
menjadi nyata dalam maksud tujuan yang menghantarkan pada kemaslahatan manusia,
dan keadilan.
Kaidah ini dibagi menjadi 5 kaidah, dan
akan kami bahas satu saja:
1. Tujuan
Umum Pensyariatan
Tujuan umum Syari’ dalam pensyariatan
hukumnya adalah pencapaian kemaslahatan manusia meliputi pemenuhan kebutuhan dhoruriy
(dasar), dan penyempuraan kebutuhan hajiy (biasa), serta kebutuhan tahsiny
(pembagus).[10]
Disebut dhoruriy jika kebutuhan
itu menyangkut kehidupan manusia, sekiranya jika kebutuhan ini tidak terpenuhi
maka rusaklah sistem kehidupan manusia. Yang termasuk dhoruriy antara
lain agama, jiwa, akal, harga diri, dan harta.
Disebut hajiy jika ia merupakan
sesuatu yang dibutuhkan manusia untuk mendapat kemudahan, dan menghilangkan
kesulitan hidup. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi maka sistem kehidupan tidak
akan rusak dan tidak terjadi kekacauan di dalamnya, namun manusia akan
mengalami kesusahan dan kesempitan. Yang termasuk di dalamnya adalah
keringanan-keringanan syariat dalam menanggung taklif sehingga manusia mudah
dalam melakukan interaksi, dan transaksi. Misalnya dalam ibadah, orang yang
sakit dan berpergian boleh membatalkan puasa. Dalam muamalah, manusia memenuhi
kebutuhannya dengan akad-akad muamalah yang bermaslahat dan tidak merugikan
manusia dalam perspektif syariat. Dan dalam pidana, orang yang membunuh tanpa
sengaja hukumannya lebih ringan dari pada orang yang membunuh dengan sadar.
Disebut tahsiniy jika ia
berhubungan dengan harga diri dan sopan santun. Jika kebutuhan ini tidak ada
maka kehidupan manusia akan dianggap aneh menurut akal sehat dan fitrah normal.
Dan termasuk didalamnya adalah kemuliaan akhlak dan perbaikan kebiasaan serta
segala sesuatu yang dituju manusia untuk menjalani hidup dengan cara lebih
baik. Misalnya dalam sholat, disyariatkan kesucian badan, pakaian dan tempat
serta menutup aurat. Dan dalam muamalah, diharamkan menipu, memalsukan, terlalu
berlebihan dan terlalu irit.[11]
Kesimpulan kaidah ini adalah pencapaian
kemaslahatan manusia dalam kehidupan, memberi manfaat dan menghindarkan bahaya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kaidah
Ushuliyyah adalah kaidah-kaidah hukum yang timbul dari lafal. Contohnya seperti
kaidah yang menyebutkan bahwa perintah menunujukkan kewajiban, larangan
menunjukkan keharaman, dan lafal-lafal tertentu bisa menerima nasakh.
Sedangkan Kaidah Fiqhiyyah adalah
Kaidah-kaidah yang bisa membatasi cabang-cabang ilmu fiqh yang sangat luas.
Kaidah Fiqhiyyah juga mencakup berbagai rahasia hukum syara’ dan hikmahnya.
Perbedaan antara Kaidah Ushuliyyah dan Kaidah
Fiqhiyyah adalah jika kaidah ushuliyah merupakan pedoman beristibath yang
bersumber dari penelitian nash-nash yang ada maka kaidah fiqhiyyah merupakan pedoman
yang menghimpun hukum-hukum yang sama.
Kaidah Ushuliyah dibagi menjadi dua
yakni Lughowiyah (bahasa, berisi tujuh kaidah) dan Tasyri’iyah (pensyariatan,
berisi lima kaidah).
B. Saran
Dalam penulisan makalah yang kurang sempurna ini kami pemakalah meminta
saran konstruktif dari para pembaca yang dapat digunakan untuk memperbaiki
kekurangan yang ada pada makalah ini. Sekian dan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Az-Zuhaili,
Wahbah, Al-Wajiz
fi Ushul al-Fiqh, Damaskus: Dar el-Fikr, 1999, cet. I.
Khallaf,
Abdul Wahhab, Ilmu Ushul al-Fiqh,
t.t.p.: al-Haromain, 2004, cet. II.
Manshur, Yahya
Khusnan, Ats-Tsamarot
al-Mardliyyah, Jombang: Pustaka al-Muhibbin, 2011.
Mughits,
Abdul, Ushul
Fikih Bagi Pemula, Jakarta: CV Artha Rivera, t.t.h.
[1] Yahya Khusnan Manshur, Ats-Tsamarot
al-Mardliyyah, (Jombang: Pustaka al-Muhibbin, 2011), hlm. 8.
[2] Abdul Mughits, Ushul Fikih
Bagi Pemula, (Jakarta: CV Artha Rivera, t.t.h.), hlm. 19.
[3] Ibid, hlm. 18-19.
[4] Abdul Mughits, op. cit,
hlm.19-20.
[5] Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu
Ushul al-Fiqh, (t.t.p.: al-Haromain, 2004), cet. II, hlm. 140.
[6] Ibid, hlm. 162.
[7] Wahbah az-Zuhaili, Al-Wajiz
fi Ushul al-Fiqh, (Damaskus: Dar el-Fikr, 1999), cet.I, hlm. 182-183.
[8] Abdul Wahhab Khallaf, op.cit,
hlm. 177-178.
[9] Ibid, hlm. 197.
[10] Ibid, hlm. 197.
[11] Ibid, hlm. 199-200.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar