MAKALAH
FILSAFAT IBNU RUSYD
Disusun
guna memenuhi tugas
Mata
Kuliah: Filsafat Islam
Dosen
Pengampu: Miftahul Ula, M, Ag.
Disusun
Oleh :
Eka
Styoningsih (20212155 )
Arif
Satri Surya (20212155 )
Mudhofar
(2021215517)
Kelas
L
JURUSAN
TARBIYAH/PAI
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI
PEKALONGAN
2016
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Ibnu Rusyd merupakan Filsuf Muslim
Barat yang sangat berpengaruh di Eropa. Atas ulasan-ulasannya pada pemikiran
Aristoteles ia dijuluki sebagai asy-Syarih (Comentator). Ia seorang rasionalis
sejati dan juga pengikut Aristoteles yang setia. Dirinya memposisikan dirinya
sebagai pembela filsafat dan akan membalas serangan-serangan yang menyerang
filsafat. Meskipu begitu Ibnu Rusyd tetaplah seorang muslim yang tidak mengingkari
adanya al-Kitab dan as-Sunnah. Ia sering menggunakan ayat sebagai pendukung
pendapatnya sehingga ia menjadi filsuf Islam yang serba komplit.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana
riwayat hidup Ibnu Rusyd?
2. Apa
saja hasil karya Ibnu Rusyd?
3. Bagaimana
pemikiran Ibnu Rusyd?
C.
Tujuan Penulisan
1. Mengetahui
riwayat hidup Ibnu Rusyd.
2. Mengetahui
hasil karya Ibnu Rusyd.
3. Mengetahui
pemikiran Ibnu Rusyd.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat
Hidup Ibnu Rusyd.
Nama lengkapnya
adalah Abu Al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd. Ia dilahirkan di
Cordoba pada 520 H/1126 M dari keluarga ulama cendikiawan dan hakim-hakim.
Kakeknya Muhammad ibn Rusyd menjabat sebagai hakim agung di Andalusia. Ayahnya Ahmad
ibn Muhammad ibn Rusyd pernah menjabat sebagai hakim di Cordoba. Nama Ibn Rusyd
dipergunakan oleh ayahnya dan oleh Ibn Rusyd sendiri.[1]
Pada
waktu kecilnya Ibnu Rusyd memelajari teologi Islam menurut Asy’ariyah,
mendalami ilmu fiqh menurut madzhab Maliki, dan memperluas tentang pengetahuan
syair-syair arab dan kesustraannya. Di samping itu ia juga mencurahkan
perhatiannya pada ilmu kedokteran, matematika, dan filsafat.[2]
Dengan terbekali keagamaan, Ibnu Rusyd menduduki peranan penting dalam studi
ke-Islam-an. Beliau memelajari al-Qur’an beserta penafsirannya, dan hadits
Nabi. Metoda belajarnya secara lisan dari seorang ahli (‘alim). Di
samping itu, beliau juga memelajari fisika, astronomi, dan logika.[3]
Semasa
hidupnya, beliau menuliskan ulasan-ulasan atas buku-buku Aristoteles. Untuk itu
dia layak disebut sebagai “Juru Ulas” dan dengan sebutan itulah dia dikenal
oleh masyarakat Eropa abad pertengahan. Dante dalam karyanya Divince Comedy
menyebut nama Ibnu Rusyd bersama-sama dengan Euclid, Ptolemeus, Hippocrates,
Ibnu Sina dan Galen serta menjulukinya Juru Ulas yang Agung.[4]
Ernest Renan, pujangga Prancis yang terkenal menyebutkan dengan lengkap segala
macam sebutan dan tulisan itu di dalam bukunya “Averroes” mengenai nama
panggilan panggilannya baik yang populer mauppun tidak antara lain Averroes,
Ibnu Rosdin, Filius Rosadis, Ibn Rusid, Ben Raxid, Ibn Ruschod, Ben Resched,
Aben Rassd, Aben Rust, Anvenrosd, Avenryz, Adveroys, Benroist, Avenroyth,
Averrpysth, Averroysta d.l.l. Sebutan nama-nama tersebut membuktikan, bahwa
betapa besar pengaruhnya terhadap kehidupan di Eropa dan betapa terkenal
ilmunya.[5]
Dia
lebih dikenal dan dihargai di Eropa daripada di Timur dikarenakan beberapa
sebab. Pertama, tulisan-tulisannya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan
diedarkan serta dilestarikan, sedangkan teksnya yang asli dalam bahasa Arab
dibakar atau dilarang diterbitkan lantar dianggap membahayakan akidah. Kedua,
Eropa pada zaman Renaissance dengan mudah menerima filsafat dan metoda ilmiah sebagaimana
dianut oleh Ibnu Rusyd, sedangkan Timur ilmu dan filsafat mulai dikurbankan
demi berkembangnya gerakan-gerakan mistis dan keagamaan. Dalam pertentangan
antara agama dan ilmu filsafat, Agama memenangkannya di Timur dan Ilmu
memenangkannya di Barat.[6]
Pertentangan
tersebut mengakibatkan Ibnu Rusyd dibuang dari tanah kelahirannya (593 H/1196
M) ke Lucena. Beliau bukan hanya dibuang namun karya-karyanya juga dibakar di
muka umum. Pertarungan kaum agamawan dan filsuf untuk mendapatkan kekuasaan
politik tidak pernah reda sejak abad ke-3 H/ke-9 M. Namun aib dan penderitaan
yang dialami oleh Ibnu Rusyd tidak berlangsung lama. Al-Manshur (khalifah masa
itu yang menggantikan khalifah sebelumnya Khalifah Abu Yusuf) mengampuni dan
memanggilnya kembali. Ibnu Rusyd pergi ke Marrakusy, dan beliau meninggal
disana pada tahun 595 H/1198 M.[7]
B.
Hasil
Karya
Ibnu Rusyd
banyak mengarang buku, tetapi yang asli berbahasa Arab sampai ke tangan kita
sekarang hanya sedikit. Sebagian buku-bukunya telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Latin dan Yahudi.[8]
Di antara
karangan-karangannya dalam soal filsafat adalah:
a.
Tahafut
at-Tahafut.
b.
Risalah
fi Ta’alluqi Ilmillahi ‘an ‘Adami Ta’alluqihi bi al-Juz’iyyat.
c.
Tafsiru
Ma ba’da ath-Thabiat.
d.
Fashl
al-Maqal fi Ma baina al-Hikmat wa asy-Syariat min al-Ittishal.
e.
Al-Kasyfu
‘an Manahijil ‘Adillat fi ‘Aqaidi Ahl al-Millat.
f.
Naqdu
Kadhariyat Ibni Sina ‘an al-Mumkin Lidzatihi wal al-Mumkin li Ghairihi.
g.
Risalat
fi Wujud al-‘Azali wa Wujud al-Muaqqat.
h.
Risalat
fi al-Aqli wa al-Ma’quli.[9]
C.
Pemikiran
Ibnu Rusyd
Sebagai
filsuf Ibnu Rusyd berpendapat bahwa Aristoteles adalah seorang “pemikir agung”
yang sangat mendalami masalah-masalah falsafi. Ia adalah seorang yang benar
yang tidak pernah salah dari segi apa pun. Ia adalah citra tertinggi (al-shurah
al-‘ulya) dari akal insani, sehingga ia digelar sebagai seorang
“filosof Ilahi”. Dan dia pula termasuk di antara orang-orang yang diisyaratkan
Allah dalam firmanNya, “Allah memberikan hikmah kepada siapa yang
dikehendakiNya, dan barang siapa diberikan hikmah, maka ia telah diberikan
banyak kebaikan” (QS. Al-Baqarah: 269). Oleh karena itu, ia memposisikan
dirinya sebagai pembela filsafat.[10]
Ibnu
Rusyd berdiri di pihak Ibnu Sina, versus al-Ghazali, jika pendapat Ibnu Sina
sesuai dengan pendapatnya, atau dengan kata lain jika pendapat tersebut berasal
dari Aristoteles. Namun jika Ibnu Sina dirasa menyalahi “Guru Pertama”, maka
Ibnu Rusyd tidak membelanya serta meremehkannya seraya menjelaskan bahwa Ibnu
Sina telah meberikan kesempatan bagi al-Ghazali untuk menyerang filsafat dan
para filosof umumnya. Tujuan dari tulisan-tulisan Ibnu Rusyd sendiri adalah
untuk mencapai kebenaran dan menjelaskannya, baik kebenaran tersebut dari pihak
Ibnu Sina maupun dari al-Ghazali.[11]
1.
Pencarian
Tuhan
Ibnu Rusyd
membicarakan filsafat ketuhanan di berbagai karangannya, antara lain, Tahafut
at-Tahafut dan Manahij al-Adillah. Ia meneliti berbagai golongan
yang timbul dalam Islam. Masing-masing golongan mempunyai kepercayaan yang
berlainan tentang Tuhan, dan banyak memindahkan kata-kata syara’ dari arti
lahirnya kepada takwilan-takwilan yang disesuaikan dengan kepercayaannya.
Kemudian mereka mengira bahwa kepercayaannya itulah yang harus dianut oleh
semua orang dan barang siapa yang menyimpang darinya berarti telah kafir atau
menjadi bid’ah.[12]
Menurut
golongan Asy’ariyah bahwa kepercayaan tentang wujud Tuhan dapat dicapai melalui
akal pikiran. Menurut Ibnu Rusyd untuk ini mereka tidak menempuh jalan yang
ditunjukkan oleh syara’ karena mendasarkan baharunya alam atas tersusunnya dari
bagian-bagian yang tidak terbagi-bagi, dan bagian-bagian itu adalah baru. Kalau
alam ini baru, maka ia mesti ada pembuatnya yang baru, dan pembuat ini
membutuhkan pembuat yang lain, dan begitu seterusnya sampai tidak berkesudahan.
Kalau alam ini qadim, maka
perbuatan pembuatan yang berhubungan dengan perkara-perkara yang dibuatnya
tersebut adalah qadim juga.[13]
Golongan
mutakallimin Asy’ariyah akan mengatakan bahwa pembuatan yang baru adalah karena iradah (kehendak)
yang qadim. Maka Ibnu Rusyd menjawab bahwa pendapat tersebut tidak dapat
diterima karena iradah itu bukan perbuatan yang berhubungan dengan
perkara yang dibuat. Jika perkara tersebut baru, maka perbuatan yang
berhunbungan dengannya juga harus baru, tanpa membedakan apakah iradahNya
itu qadim ataukah baru, karena perbuatan itu dari dzat yang membuat,
lain dari perkara yang dibuat, dan lain pula dari iradah. Lagi pula iradah
tersebut hanya menjadi syarat adanya perbuatan, bukan perbuatan itu sendiri.[14]
Terhadap
golongan tasawuf, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa penelitian mereka bukan
pemikiran, yakni yang terdiri atas dasar-dasar pemikiran atau premis-premis dan
kesimpulan, karena mereka mengira bahwa pengetahuan tentang Tuhan dan
wujud-wujud lain diterima oleh jiwa ketika sudah terlepas dari
hambatan-hambatan kebendaan dan ketika pikirannya tertuju kepada perkara yang
dicarinya. Cara tersebut menurut Ibnu Rusyd bukanlah cara kebanyakan manusia
sebagai makhluk yang memiliki pikiran.[15]
Dalam Fashl al-Maqaal Ibnu Rusyd menyatakan, bahwa mengenal
pencipta itu hanya mungkin dengan mempelajari wujud alam yang diciptakan-Nya,
untuk dijadikan petunjuk bagi adanya pencipta itu. Yaitu dengan dalil inayah
dan dalil ikhtira’ yang ada di al-Qur’an. Dalil inayah
didasarkan pada suatu kenyataan bahwa semua yang ada ini adalah sesuai dengan
kebutuhan manusia, karena semua itu telah dijadikan oleh Pencipta yang
menghendaki hal yang demikian itu. Sedangkan dalil ikhtira’
didasarkan pada segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi adalah
diciptakan, bukan terjadi dengan sendirinya, dengan bukti penyaksian kita
sendiri, dan dengan dalil gerak langit sebagai indikator bahwa ia diperuntukkan
untuk kita.[16]
Begitu pula makhluk hidup seperti hewan, tumbuhan, dan manusia memiliki kehidupan
yang berbeda dan tingkatan yang berlainan pula, hal tersebut bukanlah
kebetulan, namun menunjukkan adanya Pencipta yang menghendaki hal yang demikian
itu. Sehingga dengan dua dalil ini dapat dibuktikan bahwa alam semesta ini ada
Penciptanya.
Imam Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah telah menyatakan kekafiran
kepada para filsuf disebabkan tiga hal yaitu adanya keyakinan mereka bahwa alam
adalah qadim (ada tanpa permulaan), Allah tidak mengetahui segi-segi
bagian (juziyat) dan interpretasi mereka tentang kebangkitan jasmani (dari
kubur) serta kehidupannya sesudah mati.
Menanggapi
pernyataan itu Ibnu Rusyd berkomentar bahwa sebenarnya para filsuf berpendapat
bahwa Allah mengetahui juziyyat, hanya saja dengan cara yang berbeda
dengan cara kita mengetahui juziyyat. Sebab pengetahuan kita tentang juziyyat
itu adalah efek dari obyek yang telah diketahui, yang efek itu tercipta bersama
terciptanya obyek tersebut, serta berubah bersama perubahannya. Sedangkan
pengetahuan Allah tentang apa yang ada ini adalah kebalikannya. PengetahuanNya
itu merupakan sebab bagi obyek yang diketahuiNya yakni segala wujud ini, jadi
barang siapa yang menganggap sama kedua
pengetahuan itu, maka berarti telah menyamakan esensi dan sifat-sifat
dari hal-hal yang berlawanan dan ini merupakan puncak kebodohan. Dan jika
perkataan pengetahuan digunakan untuk memenangkan baik tentang pengetahuan
ciptaan maupun pengetahuan bukan ciptaan, maka hal itu bisa terjadi hanya
karena semata-mata kesamaan nama saja.[17]
2.
Qadimnya Alam
Apakah alam ini qadim ataukah baru, maka menurut Ibnu Rusyd
perselisihan antara kaum teolog Asy’ariyah dan para fisuf klasik hampir bisa
dikembalikan pada perselisihan mengenai penamaan saja, khususnya bagi beberapa
orang filsuf saja. Sebab mereka telah sepakat adanya tiga macam wujud yaitu dua
wujud yang berada di dua ujung dan yang satu berada di tengah-tengahnya.
Wujud yang pertama adalah wujud yang terjadi dari sesuatu selain
dirinya dan oleh sesuatu sebab penggerak serta dari suatu bahan tertentu, dan
wujud ini dalam kewujudannya didahului oleh waktu.
Wujud yang kedua adalah wujud yang adanya tidak berasal dari maupun
disebabkan oleh sesuatu yang lain serta tidak pula didahului oleh waktu. Wujud
ini dinamakan qadim. Adanya wujud ini telah dibuktikan melalui burhan
dan itulah Tuhan Yang Maha Agung, Penggerak sekalian yang ada, Pencipta, dan
Pemelihara.
Adapun wujud jenis yang menengahi adalah wujud yang tidak berasal
dari sesuatu serta tidak pula didahului oleh waktu tapi terwujud oleh suatu
Penggerak. Inilah alam secaraa keseluruhannya. Semua golongan tadi sepakat
adanya tiga sifat tersebut bagi alam. Karena para teolog Islam mengakui bahwa
tidak mendahului alam, atau pengertian ini sebagai suatu kesimpulan yang tak
terelakkan bagi mereka, sebab waktu menurut mereka ialah sesuatu yang menyertai
gerak dan benda. Para teolog Islam juga sepakat dengan para filsuf klasik dalam
pandangan bahwa waktu mendatang adalah tak terbatas begitu pula dalam wujud
mendatang.[18]
Kemudian Ibnu Rusyd menyitir ayat al-Qur’an mengenai hal ini. “Dan
Dialah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, dan Arsy
(singgasana)-Nya ada di atas air” (QS. Hud: 7). Ayat ini dijadikan pegangan
Ibnu Rusyd di dalam melandasi pendapatnya yang menyatakan bahwa “di sana telah
ada sesuatu sebelum apa yang ada sekarang ini terwujud, yaitu tahta atau
singgasana dan air, dan telah ada pula waktu sebelum adanya waktu sebelum
adanya waktu yang kita kenal sekarang ini, yakni suatu periode waktu yang
terkaitkan dengan bentuk (form) daripada apa yang ada ini, yaitu sejumlah
gerakan benda-benda langit”.[19]
3.
Kebangkitan
Jasmani
Menurut al-Ghazali, salah satu unsur yang menyebakan orang menjadi
kafir adalah karena mengingkari adanya kebangkitan jasmani di akhirat kelak.
Hal ini banyak terjadi di kalangan filsuf.
Ibnu Rusyd menyangkal pendapat al-Ghazali tersebut, karena
kebangkitan jasmani telah tersiar lebih dari seribu tahun yang lalu (dari
masanya), sedangkan usia filsafat kurang dari masa itu, di mana orang
pertama-tama mengatakan adanya kebangkitan jasmani ialah nabi-nabi terdahulu
dari Kitab Zabur, maupun Injil.
Bagi orang yang mengimani syara’, maka mereka sepakat bahwa
dasar-dasar dari syariat adalah harus diterima saja, karena bukti tentang
wajibnya amalan tidak lain hanya wujudnya keutamaan-keutamaan yang diperoleh
dari perbuatan akhlak dan amalan. Maka jelas pula bagi pendapat yang
dikemukakan oleh para filsuf dalam masalah syariat, yaitu bahwa dasar-dasar
amalan serta perbuatan-perbuatan yang syah pada setiap agama harus diambil dari
nabi-nabi, dan di antara perbuatan-perbuatan tersebut yang paling baik ialah
yang lebih banyak memberikan dorongan kepada orang banyak untuk melakukan
amalan-amalan yang utama, seperti shalat dalam Islam yang dapat menjauhkan
kemungkaran dan lebih baik daripada shalat (kebaktian) yang ditentukan agama
lain, karena faktor-faktor tertentu, seperti bilangan rakaat, waktu
pelaksanaan, bacaan, bersuci dan lain-lain.
Demikian pula dalam masalah kebangkitan jasmani di akhirat. Islam
dalam masalah ini lebih banyak mendorong kepada amalan-amalan utama. Oleh
karena itu pengambaran terhadap kebangkitan jasmani itu dengan
gambaran-gambaran materiil lebih baik daripada pengggambaran-penggambaran
rohani seperti yang digambarkan oleh syara’ bahwa surga diperuntukkan untuk
orang-orang yang takwa dengan sungai yang mengalir di bawahnya.
Ini semua menunjukkan bahwa alam
akhirat adalah alam lain yang lebih tinggi daripada alam dunia, dan adanya saat
fase yang lebih utama daripada fase di dunia. Maka Menganggap tujuan hidup
manusia hanya mencapai kelezatan dzahir saja termasuk perbuatan orang-orang
zindik.
4.
Kerasulan
Nabi
Berbeda dengan ulama’ ilmu kalam, menurut
Ibnu Rusyd, mu’jizat ada dua macam yakni,
a.
Mu’jizat
Luaran (al-Karrami), yakni mu’jizat yang sesuai dengan sifat mengapa seorang
nabi disebut nabi, seperti menyembuhkan penyakit, dan membelah lautan.
b.
Mu’jizat
Sesuai (al-Immasib) dengan sifat kenabian tersebut, yakni syari’at yang
dibawanya untuk kemaslahatan manusia.
Mu’jizat yang yang pertama sebenarnya hanya menjadi tanda penguat
tentang adanya kerasulan. Dan mu’jizat ini adalah sebagai jalan keimanan orang
awwam. Sedangkan mu’jizat yang kedua adalah merupakan tanda kerasulan yang
sebenarnya, dan mu’jizat terakhir ini sebagai jalan keimanan bagi para ulama’
sekaligus orang awwam dengan kadar kemampuan akal yang dimilikinya. Di sini
Ibnu Rusyd menonjolkan rasionalismenya.[20]
[1] Maftukhin, Filsafat Islam,
(Yogyakarta: Teras, 2012), cet.I, hal. 192.
[2] Ibid, hlm. 192.
[3] A. Mustofa, Filsafat Islam,
(Bandung: Pustaka Setia, 1997), cet.I, hlm. 284.
[4] Ibid, hlm. 286.
[5] Suparman Syukur, Epistemologi
Islam Skolastik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan IAIN Walisongo Semarang,
2007), cet.I, hlm. 17-18.
[6] A. Mustofa, op. cit.., hlm. 287.
[7] Ibid, hlm. 288.
[8] Ibid, hlm. 289.
[9] Ibid.
[10] Ahmad Daudy (ed), Segi-Segi
Pemikiran Falsafi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), cet.I, hlm. 10-11.
[11] Ibid, hlm. 11.
[12] A. Mustofa, op. cit.,
hlm. 289
[13] Ibid, hlm. 290.
[14] Ibid.
[15] Ibid, hlm. 291.
[16] Ahmad Daudy (ed), op. cit.,
hlm. 22-23.
[17] A. Mustofa, op. cit.,
hlm. 294.
[18] Ibid, hlm. 297-296.
[19] Oliver Leaman, Pengantar
Filsafat Islam (Abad Pertengahan), Amin Abdullah (penerj), (Jakarta:
Rajawali, 1989), cet.I, hlm. 36.
[20]
A. Mustofa, op. cit. hlm. 304-307.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar