Dasar Pendidikan Akhlak
Menurut H. Hamzah
Ya’kub, menegaskan bahwa yang menjadi ukuran baik dan
buruknya perbuatan manusia didasarkan atas ajaran Tuhan, segala perbuatan yang
diperintahkan Tuhan itulah yang baik dan segala perbuatan yang dilarang Tuhan
itulah perbuatan buruk, yang sudah dijelaskan dalam surat al-Quran.[1]
Adapun dasar
pendidikan akhlak dalam al-Quran ditunjukan pada
Artinya :
Dan Tuhanmu telah memerintahkan
supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada
ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau
kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia. (QS. Al-Israa’ : 23).[2]
Dari ayat diatas
terlihat bahwa Allah SWT memerintahkan kepada kita agar jangan sekali-kali
menyembah Tuhan selain Allah SWT dan kita diwajibkan untuk selalu berbuat baik
kepada kedua orang tua. Hal ini merupakan pendidikan akhlak yang terpuji (akhlaqul karimah) dan hendaknya
pendidikan akhlak tersebut ditanamkan sejak dini kepada anak-anak, agar mereka
tidak menjadi generasi yang tidak berakhlak atau amoral.
Dasar pendidikan
nilai akhlak juga ditunjukan pada as-Sunah sebagai mana Rasulullah SAW dengan
tegas menyebut misi utamanya dalam berdakwah yang tersurat dalam sebuah sabda :
عَنْ اَبِي هُوَيْرَةَ: اِنَّمَا بُعِثْتُ ِلاُ تَمِّمَ مَكَارِمَ
اْلاَخْلاَقْ (رواه احمد
وبيهقى)
Artinya :
“Sesungguhnya
aku diutus hanya untuk menyempurnakan moral yang mulia”.[3]
Dari ayat-ayat
diatas jelaslah bahwa nilai-nilai luhur agama yang sifatnya mutlak itu amat
diperlukan dalam kehidupan dan berguna bagi umat manusia dalam upaya memperoleh
ridha Allah sebagai perwujudan bahwa suruan dan larangan-Nya ditaati serta
membentuk akhlaqul karimah seseorang.
[1] H.
Hamzah Ya’kub, Etika Islam, (Bandung:
Diponegoro, 1985), Cet. Ke-3, hlm. 13.
[2]
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan
Terjemahanya, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1995), hlm. 427.
[3]
Jalaludin Abdul Rahman As-Suyuti, Al-Jami’us
Sahir Fi Al-Khadit Al-Basyiri An-Nadzir, Juz 1-2, (Hammas: t.np. 911H),
hlm. 103.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar