Bagaimana Konsep Pendidikan Anak

KONSEP PENDIDIKAN ANAK   A.     Pengertian Pendidikan Anak Istilah pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu pada term a l ...

Rabu, 05 Mei 2021

Bagaimana Konsep Pendidikan Anak

KONSEP PENDIDIKAN ANAK

 

A.    Pengertian Pendidikan Anak

Istilah pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu pada term al-tarbiyah, al-ta’dib, al-ta’lib. Dari ketiga terminologi tersebut yang popular digunakan dalam praktik pendidikan Islam adalah term al-tarbiyah. Sedangkan al-ta’dib dan at-ta’lim jarang sekali digunakan walaupun sebenarnya kedua term tersebut telah digunakan sejak awal pertumbuhan pendidikan Islam.[1] Al-Tarbiyah mencakup keseluruhan kegiatan pendidikan. Ia adalah upaya yang mempersiapkan individu untuk kehidupan yang lebih sempurna, beretika, sistematis dalam berfikir, memiliki ketajaman intuisi, giat dalam berkreasi, memiliki toleransi pada orang lain, berkompetensi dalam mengungkapkan bahasa lisan atau tulisan, serta memiliki banyak ketrampilan.[2]

Pendidikan adalah usaha perlahan-lahan untuk mengembangakan sesuatu menuju kesempurnaannya.[3] Pendidikan pada prinsipnya adalah menanamkan akhlak yang luhur pada jiwa anak didik, memberinya petunjuk, bimbingan sehingga menjadi karakter kejiwaannya, maka arti jiwa inilah akan memberikan kemanfaatan bagi masyarakatnya.[4] Dengan demikian pendidikan merupakan suatu proses kegiatan yang dilakukan secara sistematis untuk melahirkan perubahan-perubahan yang pogressive pada tingkah laku manusia.

Pendidikan dapat ditinjau dari dua segi, yakni dari pandangan masyarakat dan dari segi pandangan individu. Dari segi pandangan masyarakat, pendidikan berarti pewarisan kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda agar hidup masyarakat itu tetap berkelanjutan. Jadi masyarakat mempunyai nilai-nilai budaya yang ingin dijalurkan dari generasi ke generasi agar identitas masyarakat itu tetap terpelihara.[5] Dilihat dari pandangan individu, pendidikan berarti pengembangan potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi. Dengan kata lain kemakmuran manusia tergantung kepada keberhasilan pendidikannya dalam mencari dan menggarap kekayaan yang terpendam pada setiap anak.[6]

Berdasarkan pengertian-pengertian pendidikan itulah dapat dimengerti bahwa pendidikan sejatinya harus ditempuh oleh manusia (anak didik), karena bilamana manusia tidak mendapatkan derajat sebaik-baiknya sesuai dengan martabatnya sebagai makhluk individual dan sosial maka ia harus mendapatkan pendidikan dan bimbingan sesuai dengan tujuan Allah menciptakan manusia di dunia ini.

Umat Islam di manapun berada senantiasa mendambakan proses kependidikan Islami yang bermakna luas, yaitu membentuk manusia seutuhnya. Pendidikan harus dapat merangsang anak didik untuk mengembangkan segenap potensinya semaksimal mungkin. Sebagai individu, anak didik akhirnya mampu mengaktualisasikan pribadinya di satu pihak, sedang di pihak lain sebagai individu anak didik harus terdidik untuk siap memasuki kehidupan bersama atau setiap masyarakat. Proses kependidikan harus diarahkan dua sasaran, yaitu personalisasi dan sosialisasi anak didik. Dan proses tersebut tidak bebas nilai, terutama nilai agama (religius). Oleh karena itu, pendidikan harus lebih dari proses pengajaran yang hanya menitikberatkan pada penguasa ilmu yang dapat menunjang prestasi manusia, ia harus mencakup usaha membentuk fungsi nurani (conscience) sebagai pengatur akhlaknya.[7]

Syariat Islam tidak akan dihayati dan diamalkan orang kalau hanya diajarkan saja, tetapi harus dididik melalui pendidikan. Nabi telah mengajak orang untuk beriman dan beramal serta berakhlak baik sesuai ajaran Islam dengan berbagai metode dan pendekatan. Dari satu segi kita melihat, bahwa pendidikan Islam itu lebih banyak ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan, baik bagi keperluan diri sendiri maupun orang lain, di segi lainnya, pendidikan Islam tidak hanya bersifat teoritis saja, tetapi juga praktis. Ajaran Islam tidak memisahkan antara iman dan amal saleh. Oleh karena itu, pendidikan Islam adalah sekaligus pendidikan iman dan pendidikan amal. Dan karena ajaran Islam berisi ajaran tentang sikap dan tingkah laku pribadi masyarakat menuju kesejahteraan hidup perorangan dan bersama, maka pendidikan Islam adalah pendidikan individu dan pendidikan masyarakat.[8]

Al-qur’an melihat pendidikan sebagai sarana yang amat strategis dan ampuh dalam mengangkat harkat dan martabat manusia dari keterpurukan yang sebagaimana dijumpai di abad Jahiliyyah. Hal ini dapat dipahami karena dengan pendidikan seseorang akan memiliki bakat untuk memasuki lapangan kerja, merebut berbagai kesempatan dan perang yang menjanjikan masa depan. Penuh percaya diri, dan tidak mudah diperalat oleh manusia lain. Al-Qur’an menegaskan tentang pentingnya tanggung jawab intelektual dalam melakukan berbagai kegiatan. Dalam kaitan ini, al-Qur’an selain menganjurkan manusia untuk belajar dalam arti seluas-luasnya hingga akhir hayat, mengharuskan seseorang agar bekerja dengan dukungan ilmu pengetahuan, keahlian dan ketrampilan yang dimiliki. Bersamaan dengan itu, dalam Islam seorang yang berilmu juga diwajibkan mengamalkan atau mengajarkan ilmu yang dimilikinya kepada orang-orang.[9]

Dalam haditsnya, sebagaimana dikutip oleh Ibn Ruslam dalam kitab Al-Zubad, Rasulullah SAW menegaskan, bahwa orang berilmu yang tidak mengamalkan ilmunya itu akan disiksa sebelum orang-orang yang menyembah berhala. Dengan demikian, manusia diberi kemungkinan untuk mendidik diri dan orang lain menjadi sosok pribadi yang beruntung sesuai kehendak Allah melalui berbagai metode ikhtiarnya.

Maka jelaslah bagi kita bahwa manusia dalam proses kependidikan menurut Islam, tidak lain adalah manusia yang memerlukan tuntunan dan bimbingan yang tepat melalui proses kependidikan, sehingga terbentuklah dalam pribadinya suatu kemampuan mengaktualisasikan dirinya selaku sosok individual dan sekaligus kemampuan mengfungsikan dirinya selaku anggota masyarakat serta mendarmabaktikan dirinya kepada khaliknya semata.

Sebagaimana firman Allah SWT:

ôs)s9 $uZø)n=y{ z`»|¡SM}$# þÎû Ç`|¡ômr& 5OƒÈqø)s? ÇÍÈ ¢OèO çm»tR÷ŠyŠu Ÿ@xÿór& tûÎÏÿ»y ÇÎÈ žwÎ) tûïÏ©$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏHxåur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# óOßgn=sù íô_r& çŽöxî 5bqãYøÿxE ÇÏÈ (التين: 4-6)

“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk acuan yang sebaik-baiknya. Kemudian kami kembalikan dia ke (derajat) yang serendahnya, kecuali orang-orang yang beriman dan yang mengerjakan amal saleh, maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya”. (QS. At-Tiin: 4-6).

 

Sebelum dibicarakan tentang pendidikan anak, terlebih dahulu perlu diketahui dulu apa itu “anak”. Anak adalah turunan tua manusia, manusia yang masih kecil.[10] Atau anak adalah kelompok anak yang berada dalam proses perkembangan dan perkembangan (koordinasi motorik halus dan kasar), intelegensi (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, dan kecerdasan spiritual), sosial emosional (sikap dan perilaku serta agama), bahasa dan komunikasi yang khusus sesuai dengan tingkat pertumbuhan anak.[11]

 

 

Anak-anak adalah masa depan. Pernyataan ini sungguhan bukan kiasan, dan benar-benar terjadi bukan khayalan. Karena itu, harapan terbesar harus diarahkan pada mempersiapkan mereka agar menjadi jaminan masa depan umat Islam. Kosongkan diri dari teori yang menyatakan mereka adalah “alat” permainan untuk menghibur sehingga kita lupa bahwa pendidikan anak dimulai sejak dini.[12] Anak-anak unggulan oleh Allah secara spesifik diberi bakat, kesiapan fitrah dan karakter kepribadian yang berbeda. Mereka bukan saja pandai menghadapi ujian dan tidak semata-mata berhasil dalam mengaktualisasikan kemahiran. Justru mereka memiliki ciri kepribadian, social dan jasmani yang melebihi rekan lainnya. Di antara ciri itu adalah badan yang sehat, ingatan yang kuat, kecepatan daya tangkap, motivasi berprestasi, kepercayaan diri, suka mencari tahu, dan lain-lain.

Namun untuk membentuk karakter atau bakat dengan fitrah anak tersebut, maka perlunya penanaman pendidikan yang baik pada anak, karena seorang anak tidak dilahirkan dalam keadaan berilmu, melainkan dididik bersama-sama, dibentuk oleh lingkungan dan disiapkan dengan pengayoman dan pengajaran.[13]

Sikap orang tua terhadap anak akan menentukan nilai kehidupan anak tersebut. Jika kita menganggap anak kita sebagai harta pusaka yang sangat mahal harganya, kita akan bertindak hati-hati untuk menjaga dan merawatnya. Sebaliknya, jika orang tua menganggap anak tidak atau kurang berharga, anak tersebut menjadi tidak berharga dan kurang dijaga dan dirawat dengan hati-hati. Anak ibarat anak panah di tangan pahlawan atau orang tuanya. Ia akan meluncur ke sasaran yang dikehendakinya, sekali salah meluncur anak panah tidak bisa ditarik kembali.[14]

Pendidikan anak merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke beberapa arah berikut ini.[15]

1.      Pertumbuhan dan perkembangan fisik atau koordinasi motorik halus dan kasar.

2.      Kecerdasan atau daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual.

3.      Sosio emosional atau sikap dan perilaku serta agama, bahasa dan komunikasi, yang disesuaikan dengan keunikan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak.

Dengan demikian pendidikan anak adalah usaha sadar yang dilakukan oleh orang dewasa kepada anak-anak melalui proses bimbingan dan penanamannya untuk merubah sikap dan tata perilaku yang meliputi jasmani dan rohani. Pendidikan atau pengajaran adalah usaha yang bertujuan lebih baik dari itu kegiatan pendidikan dan pengajaran terikat dan diarahkan untuk mencapai tujuan.

 

 

 

B.     Tujuan Pendidikan Anak

Tujuan utama dari pendidikan Islam ialah pembentukan akhlak dan budi pekerti yang sanggup menghasilkan orang-orang yang bermoral, laki-laki ataupun wanita, berjiwa bersih, berkemauan keras, mempunyai cita-cita yang benar dan akhlak yang tinggi, tahu arti kewajiban dan pelaksanaannya, menghormati hak-hak manusia, tahu membedakan buruk dengan baik, memilih suatu fadhilah karena cinta pada fadhilah, menghindari suatu perbuatan yang bercela, dan mengingat Tuhan dalam setiap pekerjaan yang memiliki lakukan.[16]

Secara umum, tujuan pendidikan Islam antara lain tujuan akhir dan tujuan sementara, tujuan akhir, dan tujuan operasional. Tujuan umum adalah tujuan yang akan dicapai dengan semua kegiatan pendidikan baik dengan pengajaran atau dengan cara lain. Tujuan sementara adalah tujuan yang akan dicapai setelah anak dididik dan diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam sebuah kurikulum. Tujuan akhir adalah tujuan yang dikehendaki agar peserta didik menjadi manusia-manusia sempurna (insan kamil) setelah ia menghabiskan sisa umurnya, sementara tujuan operasional adalah praktik yang akan dicapai dengan sejumlah kegiatan tertentu.[17] Pendidikan secara operasional mengandung dua aspek, yaitu aspek menjaga atau memperbaiki dan aspek menumbuhkan atau membina.[18]

Pendidikan diharapkan pula menjadi salah satu perwujudan aspirasi bangsa dan perwujudan dari kebudayaan bangsa kita. Semua warisan budaya disampaikan kepada generasi beriktnya lewat transmisi (penyebaran, pengoperan) pendidikan dan kegiatan belajar-mengajar, dengan penekanan pada faktor rasio dan wawasan, dan bukan merupakan kegiatan adaptasi secara pasif, kodrati, dan otomatis terhadap alam. Oleh karena itu, upaya mendidik dan kegiatan belajar-mengajar pada anak itu sifatnya lebih kondisional dan kultural dan jelas dan ada di luar warisan biologis,[19] maka tujuan pendidikan di adlam konteks kultural tersebut adalah memupuk kemampuan adaptasi anak didik agar ia mampu menembus immanensi alam guna membuat kebudayaan baru yang cocok dengan zamannya.[20]

Dengan demikian tujuan pendidikan anak adalah sebagai berikut:[21]

1.      Membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya, sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa dewasa.

2.      Membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah.

Tujuan pendidikan anak dalam al-Qur’an diformulasikan dari muatan dari muatan materi yang diajarkan oleh masing-masing pelaku pendidikan. Pada intinya, materi pendidikan anak dalam al-Qur’an dapat dikelompokkan dalam tiga aspek, yaitu akidah, syariah, dan akhlak.[22] Ketiga materi tersebut harus diajarkan pada anak yang dimulai dari keluarga.

Pendidikan dalam keluarga merupakan pendidikan yang pertama dan utama, di mana orang tua menjadi pendidiknya, yang paling bertanggung jawab terhadap perkembangan anaknya. Pendidikan anak tidak lepas dari pendidikan keluarga. Keluarga adalah unit terkecil dari  masyarakat, baik tidaknya suatu masyarakat ditentukan oleh baik tidaknya keadaan keluarga, maka untuk terwujudnya suatu masyarakat yang baik, harus dimulai dari keluarga. Dalam al-Qur’an Surat At-Tahriim ayat 6:

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. Ÿw (#râÉtG÷ès? tPöquø9$# ( $yJ¯RÎ) tb÷rtøgéB $tB ÷LäêZä. tbqè=yJ÷ès? ÇÐÈ (التحريم: 6)

Wahai orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka[23]

 

Maka supaya keluarga terbebas dari siksa api neraka, hendaknya kita harus benar-benar menjaga dan memperhatikan pendidikannya yang harus diberikan kepada anak, hanya demikianlah anak akan tumbuh dan berkembang sesuai fitrah dan diridhoi Allah Swt. Jadi, anak dapat menjadi impian yang menyenangkan, manakala dididik dengan baik, maka rasa optimis dan psimistislah yang kemungkinan muncul.[24]

Rasulullah bersabda:

عَنْ ابى هريرة رضى الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : مَا نَحَلَ

وَلَدٌ وَلَدًا مِنْ نَمْلِ اَفَضَلَ مِنْ  اَدَبِ حَسَنٍ

"Tidaklah ada pemberian orang tua kepada anaknya yang lebih baik daripada budi (pendidikan) yang baik (HR. Turmudzi).[25]

 

 

C.    Materi dan Metode Pendidikan Anak

Untuk menunaikan amanat Allah yaitu anak, hendaknya orang tua menempatkan anak di tempat yang layak dan memberikan perhatian penuh terhadapnya serta memeliharanya dari kerusakan. Apabila anak tidak diperlakukan demikian, berarti orang tua tidak menghargai amanat itu dan tidak menghargai zat yang memberikan amanat tersebut, yang dapat membangkitkan kemarahan Allah Swt.[26]

Namun nampaknya yang banyak terjadi sekarang, anak lebih diutamakan pendidikan dari barat dan orang-orang sekuler. Untuk menyikapi hal tersebut, sudah saatnya kita harus kembali pendidikan yang diajarkan oleh Islam yang berdasarkan al-Qur’an dan hadits-hadits. Al-qur’an sejak masa Nabi Muhammad Saw, sudah dipelajari para sahabat dengan tujuan memahami kandungan ajaran-ajarannya.[27] Jadi, usaha untuk memahami al-Qur’an yang dilakukan di zaman sekarang adalah kelanjutan dari kegiatan mempelajari al-Qur’an di masa lalu.

Setiap orang tua yang memiliki anak selalu ingin memelihara, membesarkan, dan mendidiknya, sebab kehormatan keluarga salah satunya juga ditentukan oleh bagaimana sikap dan perilaku anak dalam menjaga nama baik keluarga. Dalam pandangan orang tua, anak adalah buah hati dan tumpuan di masa depan yang harus dipelihara dan didik. Memelihara dari segala marabahaya dan mendidiknya agar menjadi anak yang cerdas. Anak merupakan tanggung jawab orang tua, maka orang tua harus memperhatikan pendidikan yang akan diberikan pada anak, diantara  pokok-pokok pendidikan yang harus diberikan pada anak yaitu memperlakukan dengan lembut dan kasih sayang, menanamkan rasa cinta sesama anak, menghormati anak, memberi hiburan, mencegah perbuatan bebas, menjauhkan anak dari hal-hal porno (baik porno aksi maupun pornografi), menempatkan dalam lingkungan yang baik, memperkenalkan kerabat kepada anak, mendidik bertetangga dan bermasyarakat.[28]

Lingkungan yang baik menyebabkan anak merasakan kasih sayang orang tuanya, sehingga merasa aman dan bahagia, salah satu caranya adalah kerukunan dan keharmonisan ayah dan ibu. Banyak orang tua kurang menyadari bahwa kerukunan di dalam rumah tangga sangat besar artinya dalam membentuk akhlak dan kebiasaan anak.[29] Untuk menumbuhkan kerukunan tersebut, kontribusi ayah (suami) amat besar karena ia diharapkan mampu menampilkan sosok pemimpin sekaligus perencana pendidikan keluarga. Ia harus mampu berbuat rancangan garis besar pendidikan anak. Rancangan ini kemudian didiskusikan dengan ibu (istri) untuk diterapkan sehari-hari. Sejak kecil anak sudah mendapat pendidikan dari kedua orang tuanya melalui keteladanan yang diberikan dan bagaimana kebiasaan hidup orang tua sehari-hari dalam keluarga akan mempengaruhi perkembangan jiwa anak, maka sebagai orang tua perlu hati-hati dan kontrol terhadap sikapnya yang akan menjadi pendidikan untuk anaknya.[30]

Kado istimewa yang diberikan orang tua kepada anak sebenarnya bukanlah kadi berupa materi, melainkan kado berupa pendidikan karena pendidikan yang baik akan mengawal anak sepanjang hidupnya dalam meniti kebenaran. Di antara pendidikan yang diberikan orang tua adalah pendidikan al-Qur’an karena pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang mulia, al-Qur’an merupakan lambang agama Islam yang paling asasi dan hakiki. Dengan memberikan pendidikan al-Qur’an pada anak termasuk bagian dari menjunjung tinggi supremasi nilai-nilai spiritualisme Islam.[31]

Prinsip pengajaran al-Qur’an pada dasarnya bisa dilakukan dengan bermacam metode adalah:[32]

1.      Guru membaca terlebih dahulu, kemudian disusul anak/murid. Dengan metode ini guru dapat menerapkan cara membaca huruf dengan benar melalui lidahnya, sedangkan anak akan dapat melihat dan menyaksikan langsung praktik keluarnya huruf dari lidah pendidik untuk ditirukannya, yang disebut dengan musyafafah “adu lidah”,

2.      Murid membaca di depan guru, sedangkan guru menyimaknya. Metode ini dikenal dengan metode sorogan atau ardul qira’ah, “setoran bacaan”,

3.      Guru mengulang-ulang bacaan, sedang anak/murid menirukannya kata per kata dan kalimat per kalimat juga secara berulang-ulang hingga terampil dan benar.

Pendidikan yang terdapat dalam al-Qur’an yang harus diberikan kepada anak diantaranya pendidikan akidah, pendidikan ibadah, dan pendidikan akhlak.

1.      Pendidikan Keimanan (akidah)

Adapun yang dimaksud dengan pendidikan keimanan adalah sinergi berbagai unsur aktivitas pedagogis. Pengaitan anak-anak dengan dasar-dasar keimanan, pengakrabannya dengan rukun-rukun Islam, dan pembelajarannya tentang prinsip-prinsip syari’ah Islam.[33] Pendidikan karakter dan insting anak yang tumbuh kembang, pengarahan perilaku mereka sesuai dengan fondasi nilai, prinsip dan norma-norma etika yang bersumber dari keimanan yang benar kepada Allah Swt, malaikat, kitab-kitab, para rasul, hari akhir dan qadha-qadha-Nya, yang baik ataupun buruk.[34]

Pendidikan keimanan juga dapat berarti mendidik anak-anak untuk melaksanakan berbagai ibadah yang menyelami spiritnya, dan bukan dengan sekedar formalitas pelaksanaan-Nya semata, bukan pula dengan menakut-nakuti atau memaksa mereka, melainkan dengan menguatkan perasaan diawasi Allah, takut dan cinta kepada-Nya di dalam diri anak, juga dengan menakut-nakutinya akan siksaan di akhirat dan membujuknya dengan iming-iming surga.[35]

Pendidikan keimanan termasuk salah satu jenis pendidikan terpenting yang mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam kepribadian seseorang yang membuatnya menjadi orang yang cenderung kepada kebaikan, menghias diri dari sifat-sifat terpuji dan selalu membiasakan diri dengan akhlakul karimah.[36]

Urgensi pendidikan keimanan pada diri anak-anak didasari oleh sejumlah faktor, di antaranya :

a.    Kebutuhan anak-anak akan keimanan dan akidah

b.    Kebutuhan anak-anak akan kebeningan fitrah manusiawi

c.    Pendidikan keimanan merupakan implementasi perintah Allah SWT yang menginstruksikan pendidikan dan pembinaan anak-anak dengan landasan keimanan.

2.      Pendidikan Ibadah

Pembinaan anak dalam beribadah dianggap sebagai penyempurnaan dari pembinaan akidah. Karena nilai ibadah yang didapat oleh anak akan dapat menambah keyakinan akan kebenaran ajarannya atau dalam istilah lain semakin tinggi nilai ibadah yang ia miliki, akan semakin tinggi pula keimanannya. Maka bentuk ibadah yang dilakukan anak bisa dikatakan sebagai cerminan atau bukti nyata dari akidahnya.[37]

Bentuk pengabdian seorang hamba terhadap Tuhannya atau dalam istilah khusus, yaitu ibadah, memiliki pengaruh yang sangat menakjubkan dalam diri anak. Pada saat anak melakukan salah satu ibadah itu, secara tidak dia sadari, ada dorongan kekuatan yang membuat dia merasa tenang dan tentram. Ibadah sholat misalnya, akan mendorong anak untuk tidak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nuraninya. Anak juga akan terlatih untuk bisa menahan dirinya dari nafsu amarah. Dari ibadah puasa anak akan belajar dan dilatih untuk mengendalikan nafsu syahwatnya. Ketika berbuka puasa, yang merupakan masa penting anak dalam melatih diri untuk tidak melampiaskan rasa lapar sebelumnya dengan makan secara rakus. Ketika anak bermunajat kepada Allah, akan dia rasakan pula arti kekhusukan dalam pengabdiannya dan masih banyak lagi rahasia lain dari ibadah seseorang hamba pada Tuhannya.

Orang tua wajib membiasakan anak-anak mereka untuk pergi ke masjid, juga melaksanakan shalat di rumah maupun di sekolah. Orang tua juga berkewajiban melatih mereka melaksanakan puasa dan berinfaq, bersedekah, serta berbuat baik kepada tetangga dan orang-orang fakir, juga menolong orang-orang yang lemah. Di samping itu, mereka juga harus dilatih menghormati orang yang lebih tua dan telah berumur, untuk melakukan kegiatan karena keridhaan Allah semata, mencintai karena Allah dan membenci karena Allah dan mengorbankan harta serta diri mereka di jalan Allah, melaksanakan kewajiban agama, menegakkan moral Islam.[38]

Metode pendidikan yang harus dilakukan oleh orang tua untuk menerapkan hal itu adalah menemani anak-anak mereka ke masjid dan menyertai mereka dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan syari’at dengan menugasi mereka melakukan perbuatan baik. Orang tua perlu menstimulasi mereka dengan balasan atas perbuatan baik itu nantinya bagi mereka, orang tua juga perlu mengingatkan mereka dari perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang mereka dan sesat, menakuti mereka dan akibat dari perbuatan itu, menjelaskan bahaya, dampak buruk serta hukumannya. Lalu menunjukkan mereka pada tujuan hidup dan hikmah yang dapat dipetik.[39]

Metode lain yang harus dilakukan adalah menanamkan dalam diri anak-anaknya nilai-nilai agama dan budaya islami yang shahih (benar), orang tua / pendidik juga harus mengajarkan anaknya moral islami dan memberitahukan kepada mereka ketentuan-ketentuan syari’at. Mengulang-ulang dalam pendengaran mereka ungkapan kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya, serta melanjutkannya dengan menyebutkan karunia Allah, rahmat dan bimbingannya, juga bagaimana Allah memperlakukan alam kehidupan serta manusia, orang tua / pendidik juga harus memberitahukan kepada anak-anaknya tentang perbedaan antara halal dan haram, serta mengajarkan masalah agama (yang) umum. Untuk mengarahkan mereka kepada kebaikan serta memelihara al-Qur’an dan menjaga untuk mereka bagian dari sunnah serta kisah kehidupan Nabi, juga berita para sahabat serta Khulafa Ar Rasyidin dan selainnya yang layak dilakukan oleh kedua orang tua dalam mendidik anak-anaknya.

3.      Pendidikan Akhlak

Perkataan Akhlak dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa arab akhlak, bentuk jamak kata khuluq atau al-khuluq, yang secara etimologis (bersangkutan dengan cabang ilmu bahasa yang menyelidiki asal-usul kata serta perubahan-perubahan dalam bentuk dan makna) antara lain: budi pekerti, perang, tingkah laku atau tabiat.[40]

Kata khuluq, dalam kamus Istilah berarti tabiat atau perangai. Qurthubi dalam tafsirnya menjelaskan,”khuluah dalam bahasa arab artinya adab atau etika yang mengendalikan seseorang dalam bersikap dan bertindak. Adapun tabiat atau perangai yang memang sudah ada pada masing-masing orang disebut watak. Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa watak adalah sesuatu yang memang sudah ada pada masing-masing orang, sedangkan akhlak adalah perangai atau sikap yang dapat dibina dan diciptakan dalam diri masing-masing pribadi.[41]

Dengan demikian, yang dibutuhkan oleh anak adalah pendidikan akhlak dan untuk mewujudkannya tidaklah mudah, karena membutuhkan kerja keras serta kesabaran orang tua selaku pendidik. Dan arti sebuah pembinaan akhlak adalah usaha untuk menjadikan perangai dan sikap yang baik sebagai watak seorang anak.

 Pendidikan akhlak merupakan salah satu hak anak sesuai dengan sabda Rasul, “Diantara hak anak terhadap ayahnya adalah mendapatkan pendidikan yang baik”.[42] Akhlak anak sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan di mana ia hidup, khususnya di masa awal-awal pendidikan dan pembinaan anak dalam keluarga. Dengan demikian, yang dibutuhkan oleh anak adalah pendidikan akhlak dan untuk mewujudkannya tidaklah mudah, karena membutuhkan kerja keras serta kesabaran orang tua selaku pendidik. Dan arti sebuah pembinaan akhlak adalah usaha untuk menjadikan perangai dan sikap yang baik sebagai watak seorang anak.

Pendidikan akhlak merupakan salah satu hak anak sesuai dengan sabda Rasul, “Diantara hak anak terhadap ayahnya adalah mendapatkan pendidikan yang baik”.[43] Akhlak anak sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan di mana ia hidup, khususnya di masa awal-awal pedidikan dan pembinaan anak dalam keluarga. Dengan demikian akhlak anak sangat dipengaruhi oleh akhlak orang tua, pendidik, gurunya atau orang dewasa lainnya. Karena menurut pandangan anak, orang tersebut adalah orang agung yang patut ditiru dan diteladani.

 Begitu pentingnya penguasaan akan perkembangan anak serta menanamkan kebiasaan yang baik guna mencapai akhlak mulia anak. Penanaman akhlak sangat dipentingkan dalam pendidikan anak, sifat malu yang kelihatan pada anak merupakan langkah pertama menuju ke arah kesempurnaan dan berfikir.[44]

Metode pendidikan akhlak pada anak dapat dilakukan dengan taqdim al-takhali an al-akhlaq al-mazmumah suma al-tahalibi al-akhlaq al-mahmudah.[45], yakni dalam membawakan ajaran moral atau al-akhlaq al-mahmudah adalah dengan jalan takhalli (mengosongkan atau meninggalkan) al-akhlaq al-mazmumah (akhlak yang tercela), kemudian takhalli (mengisi atau melaksanakan) al-akhlaq al-mahmumah (akhlak yang terpuji)[46].

Dalam membawakan ajaran moral itu dapat dilakukan juga dengan memberikan nasihat dan berdo’a “Bismillah al-rahman al-rahim al-hamdulilahi al-lazi hadana ila makanim al-akhlaq.[47] Dalam pengajaran akhlak harus menjadikan iman sebagai fondasi dan sumbernya. Iman sebagai nikmat besar yang menjadikan manusia bisa meraih kebahagiaan dunia akhirat.

Adapun cara mensyukurinya adalah dengan melaksanakan amal shalih (al-akhlak al-mahmudah) dan meninggalkan maksiat. Landasan pokok dari akhlak Islam adalah iman, yaitu iman kepada Allah SWT, sehingga memiliki moral face (kekuatan moral) yang sangat kuat. Iman inilah merupakan batu fondasi bagi berdirinya bangunan akhlak Islam. Metode lain dalam pendidikan akhlak adalah dengan cara langsung dan dengan cara tidak langsung.

Dengan Cara Langsung

Nabi Muhammad SAW itu sebagai muallim al-nas al-khair, yakni sebagai guru yang terbaik. Oleh karena itu, dalam menyampaikan materi ajaran-ajarannya di bidang akhlak secara langsung dapat dengan menggunakan ayat-ayat al-qur’an dan al-hadits tentang akhlak dari Nabi Muhammad. Dengan ayat-ayat al-qur’an al-hadits tentang akhlak secara langsung itu ditempuh oleh Islam untuk membawakan ajaran-ajaran akhlaknya, maka wajib atas tiap makhluk mengikuti perintah Allah SWT dan Rasul-Nya.[48]

Dengan Cara Tidak Langsung

Dalam menyampaikan ajaran-ajaran akhlaknya juga dapat menggunakan cara yang tidak langsung yaitu dengan cara menceritakan kisah-kisah yang mengandung nilai-nilai akhlak dengan membiasakan anak atau latihan-latihan peribadatan.[49]

Dengan demikian dalam mengajarkan akhlak terutama kepada anak, dengan memberkan nasihat kepada anak agar menjauhkan akhlak tercela, kemudian mengisi, melaksanakan akhlak terpuji. Jadi metode pembinaan akhlak yang dimulai sejak usia dini dan pembinaan tersebut merupakan tugas dan tanggung jawab ayah dan ibu atau orang tua terhadap anaknya. Metode tersebut dapat diringkas sebagai berikut:

1.      Orang tua harus mendidik dan membina anak, juga mengajarkan kepadanya berbagai akhlak terpuji, serta menjauhkan diri dari teman-teman yang buruk.

2.      Orang tua harus mengetahui perkara pertama yang amat disukai anak adalah rakus terhadap makanan. Oleh karena itu, anak harus mendapatkan pelajaran bahwa tatkala hendak makan ia harus menyebut nama Allah dan makan dengan menggunakan tangan kanan, juga dijelaskan bahwa makan sampai terlalu kenyang adalah perbuatan buruk dan tercela.

3.      Orang tua tidak dibenarkan memarahi atau menghukum anak lantaran melakukan kesalahan kecil apapun.

4.      Orang tua berkewajiban melarang anak membiasakan diri tidur di pagi hari dan pada jam-jam kerja.

5.      Orang tua harus melarang anak bersikap sombong dan angkuh terhadap teman-temannya, serta mendidik agar anak membiasakan diri bersikap ramah dan rendah hati.

6.      Anak harus dibiasakan memberi, bukan menerima atau mengambil, sekalipun dalam keadaan sempit dan serba kekurangan.

7.      Anak harus dilarang melakukan sebagian perbuatan tercela, seperti meludah dan menguap di hadapan orang.

8.      Membiasakan anak untuk tidak banyak berbicara, dan hanya berbicara sebatas keperluan saja.

9.      Membiasakan anak agar tabah dan sabar dalam menghadapi berbagai peristiwa setelah selesai belajar, sehingga ia memiliki semangat untuk belajar kembali.

10.  Mengizinkan anak untuk bermain dan beristirahat.

11.  Anak harus dicegah agar tidak mencuri atau menggunakan harta benda milik orang lain dan berbagai perbuatan tercela lainnya.

12.  Tatkala anak mencapai usia mumayyiz, hendaklah ia diajari berbagai masalah dan norma agama.

 



[1] H. Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis Teoritis dan Praktis (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 25.

[2] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Cet III (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hlm. 29.

[3] Miftahul Huda, Idealitas Pendidikan Anak (Tafsir Tematik QS. Luqman) (Malang: UIN Malang Press, 2009), hlm. 19.

[4] Ibid., hlm. 20.  

[5] Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam (Bandung: Al-Ma’arif, 1995), hlm. 131.

[6] Mansur, Diskursus Pendidikan Islam (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2001), hlm. 38.

[7] Fuad Hasan, Selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Sambutan Mendikbud pada Rakernas Dep. Kerohanian DPP Golkar, Jakarta: 2 Maret 1987.

[8] Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hlm. 28.

[9] H. Abudin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (Jakarta: Rajawali Perss, 2004), hlm. 36.

[10] Hafizh Dasuki, dkk, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Barulin & Beve, 1994), hlm. 241.

[11] Mansur, op.cit., hlm. 90.

[12] Syaikh Ibrahim Mahmud, Kisah Oeang-oeang Sholeh dalam Mendidik Anak (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2007), hlm. 34.

[13] Ibid., hlm. 24.

[14] Hendrik Lim. Anak dan Media (Kuasailah Media Sebelum Anak Anda Dikuasai) (Jakarta: Elexmedia Komputindo, 2008), hlm. 54.

[15] Maimunah Hasan, Pendidikan Anak Usia Dini (Yogyakarta: Diva Press, 2001), hlm. 16.

[16] Muhammad Athiyah Al-Abrasyi, Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 103

[17] Arif Armai, Pengantar Ilmu dan Metodologi Islam (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 19.

[18]  H.M. Arifin, op.cit., hlm. 18.

[19] Kartini Kartono, Tinjauan Holistik Mengenai Tujuan Pendidikan Nasional (Jakarta: Pradnya Paramita, 1997), hlm. 72.

[20] Ibid., hlm. 73.

[21] Maimunah Hasan, PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) (Jakarta: Diva Press, 2001), hlm. 14.

[22] Miftahul Huda dan M. Idris, Nalar Pendidikan Anak (Yogyakarta: Ar-Rizz Media, 2008), hlm. 181.

[23] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan (Semarang: Tanjung Mas Inti, 192), hlm. 951.

[24] Miftahul  Huda dan M. Idris, op.cit., hlm. 71.

[25]  Abi Isa Muhammad bin Isa bin Sunnah, Al-Jami al-Shohih Sunan At-Turmudzi,  Juz 5 (Beirut: Dar Al-Ilmiyah, tth), hlm. 38.

[26] M. Fauzi Rahman, Islamic Parenting (Jakarta: Erlangga, 2011), hlm. 4.

[27]  Quraish Shihab, Sejarah Ulum al-Qur’an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 39.

[28] M. Thalib, 40 Tanggung jawab orang tua Terhadap Anak (Bandung: Irsyad Baitus Salam, 1995), h, 9

[29] Ramdyan Sasongko, Menggali dan Mengoptimalkan Kecerdasan Anak (Yogyakarta: Panji Pustaka, 2009), hlm. 155.

[30] M. Fauzi Rahman, op.cit., hlm. 12.

[31] Ahmad Syarifudin, Mendidik Anak Membaca, Menulis dan Mencintai al-Qur’an (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hlm. 67.

[32] Ibid., hlm. 81.

[33] Hannan Athiyah Ath-Thuri, Mendidik Anak Perempuan di Masa Kanak-kanak (Jakarta: Amzah, 2007), hlm.1.

[34] Al-Mubarak Utsman Ahmad, Tarbiyah Al Alad wa Al-Aba’ (Jakarta: Pustaka Anjani, 1997), hlm.149m

[35] Hasan Athiyah, op.cit,  hlm.2.

[36] Al-Mubarak, op.cit. hlm. 152.

[37] M. Nur Abdul Hafizh, Mendidik Anak Bersama Rasulullah (Bandung: Al-Bayan, 2000), hlm. 150.

[38] Muhammad Zuhari, Pentingnya Pendidikan Islam Sejak Dini (Jakarta: A.H Ba’dilah Press, 2002), hlm. 70.

[39] Ibid, hlm. 72.

[40]. Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada 206) hlm. 346.

[41] M. Nur Abdul Hafizh, op.cit, h. 178

[42]. Mansur, op. cit, h. 285

[43]. Mansur, op. cit, h. 285

[44] Azyumardi Azra, Esai-esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 84.

[45] Sayid Usman, Fath al-Bal Li Tahsin al-Zan (Jakarta: Pustaka Amani, 1899), hlm. 1.

[46] Ibid, hlm. 2.

[47] Ibid, h. 5

[48] Mansur, op.,cit, h.258

[49] Ibid, h.264