KONSEP PENDIDIKAN ANAK
A.
Pengertian Pendidikan Anak
Istilah
pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu pada term al-tarbiyah, al-ta’dib, al-ta’lib.
Dari ketiga terminologi tersebut yang popular digunakan dalam praktik
pendidikan Islam adalah term al-tarbiyah. Sedangkan al-ta’dib
dan at-ta’lim
jarang sekali digunakan walaupun sebenarnya kedua term tersebut telah digunakan
sejak awal pertumbuhan pendidikan Islam.[1]
Al-Tarbiyah
mencakup keseluruhan kegiatan pendidikan. Ia adalah upaya yang mempersiapkan
individu untuk kehidupan yang lebih sempurna, beretika, sistematis dalam
berfikir, memiliki ketajaman intuisi, giat dalam berkreasi, memiliki toleransi
pada orang lain, berkompetensi dalam mengungkapkan bahasa lisan atau tulisan,
serta memiliki banyak ketrampilan.[2]
Pendidikan
adalah usaha perlahan-lahan untuk mengembangakan sesuatu menuju
kesempurnaannya.[3] Pendidikan pada
prinsipnya adalah menanamkan akhlak yang luhur pada jiwa anak didik, memberinya
petunjuk, bimbingan sehingga menjadi karakter kejiwaannya, maka arti jiwa
inilah akan memberikan kemanfaatan bagi masyarakatnya.[4]
Dengan demikian pendidikan merupakan suatu proses kegiatan yang dilakukan
secara sistematis untuk melahirkan perubahan-perubahan yang pogressive pada
tingkah laku manusia.
Pendidikan dapat ditinjau dari dua segi, yakni
dari pandangan masyarakat dan dari segi pandangan individu. Dari segi pandangan
masyarakat, pendidikan berarti pewarisan kebudayaan dari generasi tua kepada
generasi muda agar hidup masyarakat itu tetap berkelanjutan. Jadi masyarakat
mempunyai nilai-nilai budaya yang ingin dijalurkan dari generasi ke generasi
agar identitas masyarakat itu tetap terpelihara.[5]
Dilihat dari pandangan individu, pendidikan berarti pengembangan
potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi. Dengan kata lain kemakmuran
manusia tergantung kepada keberhasilan pendidikannya dalam mencari dan
menggarap kekayaan yang terpendam pada setiap anak.[6]
Berdasarkan pengertian-pengertian pendidikan
itulah dapat dimengerti bahwa pendidikan sejatinya harus ditempuh oleh manusia
(anak didik), karena bilamana manusia tidak mendapatkan derajat sebaik-baiknya
sesuai dengan martabatnya sebagai makhluk individual dan sosial maka ia harus
mendapatkan pendidikan dan bimbingan sesuai dengan tujuan Allah
menciptakan manusia di dunia ini.
Umat
Islam di manapun berada senantiasa mendambakan proses kependidikan Islami yang
bermakna luas, yaitu membentuk manusia seutuhnya. Pendidikan harus dapat
merangsang anak didik untuk mengembangkan segenap potensinya semaksimal
mungkin. Sebagai individu, anak didik akhirnya mampu mengaktualisasikan
pribadinya di satu pihak, sedang di pihak lain sebagai individu anak didik
harus terdidik untuk siap memasuki kehidupan bersama atau setiap masyarakat.
Proses kependidikan harus diarahkan dua sasaran, yaitu personalisasi dan
sosialisasi anak didik. Dan proses tersebut tidak bebas nilai, terutama nilai
agama (religius). Oleh karena itu, pendidikan harus lebih dari proses
pengajaran yang hanya menitikberatkan pada penguasa ilmu yang dapat menunjang
prestasi manusia, ia harus mencakup usaha membentuk fungsi nurani (conscience)
sebagai pengatur akhlaknya.[7]
Syariat
Islam tidak akan dihayati dan diamalkan orang kalau hanya diajarkan saja,
tetapi harus dididik melalui pendidikan. Nabi telah mengajak orang untuk
beriman dan beramal serta berakhlak baik sesuai ajaran Islam dengan berbagai
metode dan pendekatan. Dari satu segi kita melihat, bahwa pendidikan Islam itu
lebih banyak ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam
amal perbuatan, baik bagi keperluan diri sendiri maupun orang lain, di segi
lainnya, pendidikan Islam tidak hanya bersifat teoritis saja, tetapi juga
praktis. Ajaran Islam tidak memisahkan antara iman dan amal saleh. Oleh karena
itu, pendidikan Islam adalah sekaligus pendidikan iman dan pendidikan amal. Dan
karena ajaran Islam berisi ajaran tentang sikap dan tingkah laku pribadi
masyarakat menuju kesejahteraan hidup perorangan dan bersama, maka pendidikan
Islam adalah pendidikan individu dan pendidikan masyarakat.[8]
Al-qur’an
melihat pendidikan sebagai sarana yang amat strategis dan ampuh dalam
mengangkat harkat dan martabat manusia dari keterpurukan yang sebagaimana
dijumpai di abad Jahiliyyah. Hal ini dapat dipahami karena dengan pendidikan
seseorang akan memiliki bakat untuk memasuki lapangan kerja, merebut berbagai
kesempatan dan perang yang menjanjikan masa depan. Penuh percaya diri, dan
tidak mudah diperalat oleh manusia lain. Al-Qur’an menegaskan tentang
pentingnya tanggung jawab intelektual dalam melakukan berbagai kegiatan. Dalam
kaitan ini, al-Qur’an selain menganjurkan manusia untuk belajar dalam arti
seluas-luasnya hingga akhir hayat, mengharuskan seseorang agar bekerja dengan
dukungan ilmu pengetahuan, keahlian dan ketrampilan yang dimiliki. Bersamaan
dengan itu, dalam Islam seorang yang berilmu juga diwajibkan mengamalkan atau mengajarkan
ilmu yang dimilikinya kepada orang-orang.[9]
Dalam
haditsnya, sebagaimana dikutip oleh Ibn Ruslam dalam kitab Al-Zubad,
Rasulullah SAW menegaskan, bahwa orang berilmu yang tidak mengamalkan ilmunya
itu akan disiksa sebelum orang-orang yang menyembah berhala. Dengan demikian,
manusia diberi kemungkinan untuk mendidik diri dan orang lain menjadi sosok
pribadi yang beruntung sesuai kehendak Allah melalui berbagai metode ikhtiarnya.
Maka
jelaslah bagi kita bahwa manusia dalam proses kependidikan menurut Islam, tidak
lain adalah manusia yang memerlukan tuntunan dan bimbingan yang tepat melalui
proses kependidikan, sehingga terbentuklah dalam pribadinya suatu kemampuan
mengaktualisasikan dirinya selaku sosok individual dan sekaligus kemampuan
mengfungsikan dirinya selaku anggota masyarakat serta mendarmabaktikan dirinya
kepada khaliknya semata.
Sebagaimana
firman Allah SWT:
ôs)s9 $uZø)n=y{ z`»|¡SM}$# þÎû Ç`|¡ômr& 5OÈqø)s? ÇÍÈ ¢OèO çm»tR÷yu @xÿór& tûÎÏÿ»y ÇÎÈ wÎ) tûïÏ©$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏHxåur ÏM»ysÎ=»¢Á9$# óOßgn=sù íô_r& çöxî 5bqãYøÿxE ÇÏÈ (التين: 4-6)
“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk acuan
yang sebaik-baiknya. Kemudian kami kembalikan dia ke (derajat) yang serendahnya,
kecuali orang-orang yang beriman dan yang mengerjakan amal saleh, maka bagi
mereka pahala yang tiada putus-putusnya”. (QS. At-Tiin: 4-6).
Sebelum
dibicarakan tentang pendidikan anak, terlebih dahulu perlu diketahui dulu apa
itu “anak”. Anak adalah turunan tua manusia, manusia yang masih kecil.[10]
Atau anak adalah kelompok anak yang berada dalam proses perkembangan dan
perkembangan (koordinasi
motorik halus dan kasar),
intelegensi (daya
pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, dan kecerdasan spiritual), sosial emosional (sikap dan perilaku
serta agama),
bahasa dan komunikasi yang khusus sesuai dengan tingkat pertumbuhan anak.[11]
Anak-anak adalah masa depan. Pernyataan ini sungguhan bukan kiasan, dan
benar-benar terjadi bukan khayalan. Karena itu, harapan terbesar harus
diarahkan pada mempersiapkan mereka agar menjadi jaminan masa depan umat Islam.
Kosongkan diri dari teori yang menyatakan mereka adalah “alat” permainan untuk
menghibur sehingga kita lupa bahwa pendidikan anak dimulai sejak dini.[12]
Anak-anak unggulan oleh Allah secara spesifik diberi bakat, kesiapan fitrah dan
karakter kepribadian yang berbeda. Mereka bukan saja pandai menghadapi ujian
dan tidak semata-mata berhasil dalam mengaktualisasikan kemahiran. Justru
mereka memiliki ciri kepribadian, social dan jasmani yang melebihi rekan
lainnya. Di antara ciri itu adalah badan yang
sehat, ingatan yang kuat, kecepatan daya tangkap, motivasi berprestasi,
kepercayaan diri, suka mencari tahu, dan lain-lain.
Namun
untuk membentuk karakter atau bakat dengan fitrah anak tersebut, maka perlunya
penanaman pendidikan yang baik pada anak, karena seorang anak tidak dilahirkan
dalam keadaan berilmu, melainkan dididik bersama-sama, dibentuk oleh lingkungan
dan disiapkan dengan pengayoman dan pengajaran.[13]
Sikap
orang tua terhadap anak akan menentukan nilai kehidupan anak tersebut. Jika
kita menganggap anak kita sebagai harta pusaka yang sangat mahal harganya, kita
akan bertindak hati-hati untuk menjaga dan merawatnya. Sebaliknya, jika orang
tua menganggap anak tidak atau kurang berharga, anak tersebut menjadi tidak
berharga dan kurang dijaga dan dirawat dengan hati-hati. Anak ibarat anak panah
di tangan pahlawan atau orang tuanya. Ia akan meluncur ke sasaran yang
dikehendakinya, sekali salah meluncur anak panah tidak bisa ditarik kembali.[14]
Pendidikan
anak merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang
menitikberatkan pada peletakan dasar ke beberapa arah berikut ini.[15]
1. Pertumbuhan dan perkembangan fisik atau
koordinasi motorik halus dan kasar.
2. Kecerdasan atau daya pikir, daya cipta,
kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual.
3. Sosio emosional atau sikap dan perilaku
serta agama, bahasa dan komunikasi, yang disesuaikan dengan keunikan
tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak.
Dengan
demikian pendidikan anak adalah usaha sadar yang dilakukan oleh orang dewasa
kepada anak-anak melalui proses bimbingan dan
penanamannya untuk merubah sikap dan tata perilaku yang meliputi jasmani dan
rohani. Pendidikan atau pengajaran adalah usaha yang bertujuan lebih baik dari
itu kegiatan pendidikan dan pengajaran terikat dan diarahkan untuk mencapai
tujuan.
B. Tujuan Pendidikan Anak
Tujuan
utama dari pendidikan Islam ialah pembentukan akhlak dan budi pekerti yang
sanggup menghasilkan orang-orang yang bermoral, laki-laki ataupun wanita,
berjiwa bersih, berkemauan keras, mempunyai cita-cita yang benar dan akhlak
yang tinggi, tahu arti kewajiban dan pelaksanaannya, menghormati hak-hak
manusia, tahu membedakan buruk dengan baik, memilih suatu fadhilah karena cinta
pada fadhilah, menghindari suatu perbuatan yang bercela, dan mengingat Tuhan
dalam setiap pekerjaan yang memiliki lakukan.[16]
Secara
umum, tujuan pendidikan Islam antara lain tujuan akhir dan tujuan sementara,
tujuan akhir, dan tujuan operasional. Tujuan umum adalah tujuan yang akan
dicapai dengan semua kegiatan pendidikan baik dengan pengajaran atau dengan
cara lain. Tujuan sementara adalah tujuan yang akan dicapai setelah anak
dididik dan diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam sebuah
kurikulum. Tujuan akhir adalah tujuan yang dikehendaki agar peserta didik
menjadi manusia-manusia sempurna (insan kamil) setelah ia menghabiskan sisa
umurnya, sementara tujuan operasional adalah praktik yang akan dicapai dengan
sejumlah kegiatan tertentu.[17]
Pendidikan secara operasional mengandung dua aspek, yaitu aspek menjaga atau
memperbaiki dan aspek menumbuhkan atau membina.[18]
Pendidikan
diharapkan pula menjadi salah satu perwujudan aspirasi bangsa dan perwujudan
dari kebudayaan bangsa kita. Semua warisan budaya disampaikan kepada generasi
beriktnya lewat transmisi (penyebaran, pengoperan) pendidikan dan kegiatan
belajar-mengajar, dengan penekanan pada faktor rasio dan wawasan, dan bukan
merupakan kegiatan adaptasi secara pasif, kodrati, dan otomatis terhadap alam.
Oleh karena itu, upaya mendidik dan kegiatan belajar-mengajar pada anak itu
sifatnya lebih kondisional dan kultural dan jelas dan ada di luar warisan
biologis,[19] maka
tujuan pendidikan di adlam konteks kultural tersebut adalah memupuk kemampuan
adaptasi anak didik agar ia mampu menembus immanensi alam guna membuat
kebudayaan baru yang cocok dengan zamannya.[20]
Dengan
demikian tujuan pendidikan anak adalah sebagai berikut:[21]
1. Membentuk anak Indonesia yang
berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat
perkembangannya, sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki
pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa dewasa.
2. Membantu menyiapkan anak mencapai
kesiapan belajar (akademik) di sekolah.
Tujuan
pendidikan anak dalam al-Qur’an diformulasikan dari muatan dari muatan materi
yang diajarkan oleh masing-masing pelaku pendidikan. Pada intinya, materi
pendidikan anak dalam al-Qur’an dapat dikelompokkan dalam tiga aspek, yaitu
akidah, syariah, dan akhlak.[22]
Ketiga materi tersebut harus diajarkan pada anak yang dimulai dari keluarga.
Pendidikan
dalam keluarga merupakan pendidikan yang pertama dan utama, di mana orang tua
menjadi pendidiknya, yang paling bertanggung jawab terhadap perkembangan
anaknya. Pendidikan anak tidak lepas dari pendidikan keluarga. Keluarga adalah
unit terkecil dari masyarakat, baik
tidaknya suatu masyarakat ditentukan oleh baik tidaknya keadaan keluarga, maka
untuk terwujudnya suatu masyarakat yang baik, harus dimulai dari keluarga. Dalam al-Qur’an Surat
At-Tahriim ayat 6:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$#
(#rãxÿx. w
(#râÉtG÷ès? tPöquø9$#
( $yJ¯RÎ)
tb÷rtøgéB $tB
÷LäêZä. tbqè=yJ÷ès?
ÇÐÈ (التحريم: 6)
“Wahai
orang-orang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”[23]
Maka supaya
keluarga terbebas dari siksa api neraka, hendaknya kita harus benar-benar
menjaga dan memperhatikan pendidikannya yang harus diberikan kepada anak, hanya
demikianlah anak akan tumbuh dan berkembang sesuai fitrah dan diridhoi Allah
Swt. Jadi, anak dapat menjadi impian yang menyenangkan, manakala dididik dengan
baik, maka rasa optimis dan psimistislah yang kemungkinan muncul.[24]
Rasulullah
bersabda:
عَنْ
ابى هريرة رضى الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : مَا نَحَلَ
وَلَدٌ
وَلَدًا مِنْ نَمْلِ اَفَضَلَ مِنْ اَدَبِ
حَسَنٍ
"Tidaklah ada
pemberian orang tua kepada anaknya yang lebih baik daripada budi (pendidikan)
yang baik” (HR. Turmudzi).[25]
C. Materi dan Metode Pendidikan Anak
Untuk
menunaikan amanat Allah yaitu anak, hendaknya orang tua menempatkan anak di
tempat yang layak dan memberikan perhatian penuh terhadapnya serta
memeliharanya dari kerusakan. Apabila anak tidak diperlakukan demikian, berarti
orang tua tidak menghargai amanat itu dan tidak menghargai zat yang memberikan
amanat tersebut, yang dapat membangkitkan kemarahan Allah Swt.[26]
Namun
nampaknya yang banyak terjadi sekarang, anak lebih diutamakan pendidikan dari
barat dan orang-orang sekuler. Untuk menyikapi hal tersebut, sudah saatnya kita
harus kembali pendidikan yang diajarkan oleh Islam yang berdasarkan al-Qur’an
dan hadits-hadits. Al-qur’an sejak masa Nabi Muhammad Saw, sudah dipelajari
para sahabat dengan tujuan memahami kandungan ajaran-ajarannya.[27]
Jadi, usaha untuk memahami al-Qur’an yang dilakukan di zaman sekarang adalah
kelanjutan dari kegiatan mempelajari al-Qur’an di masa lalu.
Setiap
orang tua yang memiliki anak selalu ingin memelihara, membesarkan, dan
mendidiknya, sebab kehormatan keluarga salah satunya juga ditentukan oleh
bagaimana sikap dan perilaku anak dalam menjaga nama baik keluarga. Dalam
pandangan orang tua, anak adalah buah hati dan tumpuan di masa depan yang harus
dipelihara dan didik. Memelihara dari segala marabahaya dan mendidiknya agar
menjadi anak yang cerdas. Anak merupakan tanggung jawab orang tua, maka orang
tua harus memperhatikan pendidikan yang akan diberikan pada anak, diantara pokok-pokok pendidikan yang harus diberikan
pada anak yaitu memperlakukan dengan lembut dan kasih sayang, menanamkan rasa
cinta sesama anak, menghormati anak, memberi hiburan, mencegah perbuatan bebas,
menjauhkan anak dari hal-hal porno (baik porno aksi maupun pornografi),
menempatkan dalam lingkungan yang baik, memperkenalkan kerabat kepada anak,
mendidik bertetangga dan bermasyarakat.[28]
Lingkungan
yang baik menyebabkan anak merasakan kasih sayang orang tuanya, sehingga merasa
aman dan bahagia, salah satu caranya adalah kerukunan dan keharmonisan ayah dan
ibu. Banyak orang tua kurang menyadari bahwa kerukunan di dalam rumah tangga
sangat besar artinya dalam membentuk akhlak dan kebiasaan anak.[29]
Untuk menumbuhkan kerukunan tersebut, kontribusi ayah (suami) amat besar karena
ia diharapkan mampu menampilkan sosok pemimpin sekaligus perencana pendidikan
keluarga. Ia harus mampu berbuat rancangan garis besar pendidikan anak.
Rancangan ini kemudian didiskusikan dengan ibu (istri) untuk diterapkan
sehari-hari. Sejak kecil anak sudah mendapat pendidikan dari kedua orang tuanya
melalui keteladanan yang diberikan dan bagaimana kebiasaan hidup orang tua
sehari-hari dalam keluarga akan mempengaruhi perkembangan jiwa anak, maka
sebagai orang tua perlu hati-hati dan kontrol terhadap sikapnya yang akan
menjadi pendidikan untuk anaknya.[30]
Kado
istimewa yang diberikan orang tua kepada anak sebenarnya bukanlah kadi berupa
materi, melainkan kado berupa pendidikan karena pendidikan yang baik akan
mengawal anak sepanjang hidupnya dalam meniti kebenaran. Di antara pendidikan
yang diberikan orang tua adalah pendidikan al-Qur’an karena pendidikan tersebut
merupakan pendidikan yang mulia, al-Qur’an merupakan lambang agama Islam yang
paling asasi dan hakiki. Dengan memberikan pendidikan al-Qur’an pada anak
termasuk bagian dari menjunjung tinggi supremasi nilai-nilai spiritualisme
Islam.[31]
Prinsip
pengajaran al-Qur’an pada dasarnya bisa dilakukan dengan bermacam metode
adalah:[32]
1. Guru membaca terlebih dahulu, kemudian
disusul anak/murid. Dengan metode ini guru dapat menerapkan cara membaca huruf
dengan benar melalui lidahnya, sedangkan anak akan dapat melihat dan
menyaksikan langsung praktik keluarnya huruf dari lidah pendidik untuk
ditirukannya, yang disebut dengan musyafafah “adu lidah”,
2. Murid membaca di depan guru, sedangkan
guru menyimaknya. Metode ini dikenal dengan metode sorogan atau ardul
qira’ah, “setoran bacaan”,
3. Guru mengulang-ulang bacaan, sedang
anak/murid menirukannya kata per kata dan kalimat per kalimat juga secara
berulang-ulang hingga terampil dan benar.
Pendidikan
yang terdapat dalam al-Qur’an yang harus diberikan kepada anak diantaranya
pendidikan akidah, pendidikan ibadah, dan pendidikan akhlak.
1. Pendidikan Keimanan (akidah)
Adapun
yang dimaksud dengan pendidikan keimanan adalah sinergi berbagai unsur
aktivitas pedagogis. Pengaitan anak-anak dengan dasar-dasar keimanan,
pengakrabannya dengan rukun-rukun Islam, dan pembelajarannya tentang
prinsip-prinsip syari’ah Islam.[33]
Pendidikan karakter dan insting anak yang tumbuh kembang, pengarahan perilaku
mereka sesuai dengan fondasi nilai, prinsip dan norma-norma etika yang
bersumber dari keimanan yang benar kepada Allah Swt, malaikat, kitab-kitab,
para rasul, hari akhir dan qadha-qadha-Nya, yang baik ataupun buruk.[34]
Pendidikan
keimanan juga dapat berarti mendidik anak-anak untuk melaksanakan berbagai ibadah
yang menyelami spiritnya, dan bukan dengan sekedar formalitas pelaksanaan-Nya
semata, bukan pula dengan menakut-nakuti atau memaksa mereka, melainkan dengan
menguatkan perasaan diawasi Allah, takut dan cinta kepada-Nya di dalam diri
anak, juga dengan menakut-nakutinya akan siksaan di akhirat dan membujuknya
dengan iming-iming surga.[35]
Pendidikan
keimanan termasuk salah satu jenis pendidikan terpenting yang mempunyai
pengaruh yang sangat besar dalam kepribadian seseorang yang membuatnya menjadi
orang yang cenderung kepada kebaikan, menghias diri dari sifat-sifat terpuji
dan selalu membiasakan diri dengan akhlakul karimah.[36]
Urgensi
pendidikan keimanan pada diri anak-anak didasari oleh sejumlah faktor, di antaranya
:
a. Kebutuhan anak-anak akan keimanan dan akidah
b. Kebutuhan anak-anak akan kebeningan
fitrah manusiawi
c. Pendidikan keimanan merupakan
implementasi perintah Allah SWT yang menginstruksikan pendidikan dan pembinaan
anak-anak dengan landasan keimanan.
2. Pendidikan Ibadah
Pembinaan
anak dalam beribadah dianggap sebagai penyempurnaan dari pembinaan akidah.
Karena nilai ibadah yang didapat oleh anak akan dapat menambah keyakinan akan
kebenaran ajarannya atau dalam istilah lain semakin tinggi nilai ibadah yang ia
miliki, akan semakin tinggi pula keimanannya. Maka bentuk ibadah yang dilakukan
anak bisa dikatakan sebagai cerminan atau bukti nyata dari akidahnya.[37]
Bentuk
pengabdian seorang hamba terhadap Tuhannya atau dalam istilah khusus, yaitu
ibadah, memiliki pengaruh yang sangat menakjubkan dalam diri anak. Pada saat
anak melakukan salah satu ibadah itu, secara tidak dia sadari, ada dorongan
kekuatan yang membuat dia merasa tenang dan tentram. Ibadah sholat misalnya,
akan mendorong anak untuk tidak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
nuraninya. Anak juga akan terlatih untuk bisa menahan dirinya dari nafsu
amarah. Dari ibadah puasa anak akan belajar dan dilatih untuk mengendalikan
nafsu syahwatnya. Ketika berbuka puasa, yang merupakan masa penting anak dalam
melatih diri untuk tidak melampiaskan rasa lapar sebelumnya dengan makan secara
rakus. Ketika anak bermunajat kepada Allah, akan dia rasakan pula arti
kekhusukan dalam pengabdiannya dan masih banyak lagi rahasia lain dari ibadah
seseorang hamba pada Tuhannya.
Orang
tua wajib membiasakan anak-anak mereka untuk pergi ke masjid, juga melaksanakan
shalat di rumah maupun di sekolah. Orang tua juga berkewajiban melatih mereka
melaksanakan puasa dan berinfaq, bersedekah, serta berbuat baik kepada tetangga
dan orang-orang fakir, juga menolong orang-orang yang lemah. Di samping itu,
mereka juga harus dilatih menghormati orang yang lebih tua dan telah berumur,
untuk melakukan kegiatan karena keridhaan Allah semata, mencintai karena Allah
dan membenci karena Allah dan mengorbankan harta serta diri mereka di jalan Allah,
melaksanakan kewajiban agama, menegakkan moral Islam.[38]
Metode
pendidikan yang harus dilakukan oleh orang tua untuk menerapkan hal itu adalah
menemani anak-anak mereka ke masjid dan menyertai mereka dalam melaksanakan
ketentuan-ketentuan syari’at dengan menugasi mereka melakukan perbuatan baik.
Orang tua perlu menstimulasi mereka dengan balasan atas perbuatan baik itu
nantinya bagi mereka, orang tua juga perlu mengingatkan mereka dari perbuatan
yang tidak boleh dilakukan, yang mereka dan sesat, menakuti mereka dan akibat
dari perbuatan itu, menjelaskan bahaya, dampak buruk serta hukumannya. Lalu
menunjukkan mereka pada tujuan hidup dan hikmah yang dapat dipetik.[39]
Metode
lain yang harus dilakukan adalah menanamkan dalam diri anak-anaknya nilai-nilai
agama dan budaya islami yang shahih (benar), orang tua / pendidik juga harus
mengajarkan anaknya moral islami dan memberitahukan kepada mereka
ketentuan-ketentuan syari’at. Mengulang-ulang dalam pendengaran mereka ungkapan
kecintaan kepada Allah dan rasul-Nya, serta melanjutkannya dengan menyebutkan karunia
Allah, rahmat dan bimbingannya, juga bagaimana Allah memperlakukan alam
kehidupan serta manusia, orang tua / pendidik juga harus memberitahukan kepada
anak-anaknya tentang perbedaan antara halal dan haram, serta mengajarkan
masalah agama (yang) umum. Untuk mengarahkan mereka kepada kebaikan serta
memelihara al-Qur’an dan menjaga untuk mereka bagian dari sunnah serta kisah
kehidupan Nabi, juga berita para sahabat serta Khulafa Ar Rasyidin dan
selainnya yang layak dilakukan oleh kedua orang tua dalam mendidik
anak-anaknya.
3. Pendidikan Akhlak
Perkataan
Akhlak dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa arab akhlak, bentuk jamak
kata khuluq atau al-khuluq, yang secara etimologis (bersangkutan
dengan cabang ilmu bahasa yang menyelidiki asal-usul kata serta
perubahan-perubahan dalam bentuk dan makna) antara lain: budi pekerti, perang,
tingkah laku atau tabiat.[40]
Kata
khuluq, dalam kamus Istilah berarti tabiat atau perangai. Qurthubi dalam
tafsirnya menjelaskan,”khuluah dalam bahasa arab artinya adab atau etika yang
mengendalikan seseorang dalam bersikap dan bertindak. Adapun tabiat atau
perangai yang memang sudah ada pada masing-masing orang disebut watak. Dari
keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa watak adalah sesuatu yang
memang sudah ada pada masing-masing orang, sedangkan akhlak adalah perangai
atau sikap yang dapat dibina dan diciptakan dalam diri masing-masing pribadi.[41]
Dengan
demikian, yang dibutuhkan oleh anak adalah pendidikan akhlak dan untuk mewujudkannya
tidaklah mudah, karena membutuhkan kerja keras serta kesabaran orang tua selaku
pendidik. Dan arti sebuah pembinaan akhlak adalah usaha untuk menjadikan
perangai dan sikap yang baik sebagai watak seorang anak.
Pendidikan akhlak merupakan salah satu hak
anak sesuai dengan sabda Rasul, “Diantara hak anak terhadap ayahnya adalah
mendapatkan pendidikan yang baik”.[42] Akhlak anak sangat
dipengaruhi oleh faktor lingkungan di mana ia hidup, khususnya di masa
awal-awal pendidikan
dan pembinaan anak dalam keluarga.
Dengan
demikian, yang dibutuhkan oleh anak adalah pendidikan akhlak dan untuk
mewujudkannya tidaklah mudah, karena membutuhkan kerja keras serta kesabaran
orang tua selaku pendidik. Dan arti sebuah pembinaan akhlak adalah usaha untuk
menjadikan perangai dan sikap yang baik sebagai watak seorang anak.
Pendidikan
akhlak merupakan salah satu hak anak sesuai dengan sabda Rasul, “Diantara hak
anak terhadap ayahnya adalah mendapatkan pendidikan yang baik”.[43]
Akhlak anak sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan di mana ia hidup,
khususnya di masa awal-awal pedidikan dan pembinaan anak dalam keluarga. Dengan
demikian akhlak anak sangat dipengaruhi oleh akhlak orang tua, pendidik,
gurunya atau orang dewasa lainnya. Karena menurut pandangan anak, orang tersebut
adalah orang agung yang patut ditiru dan diteladani.
Begitu pentingnya penguasaan akan perkembangan
anak serta menanamkan kebiasaan yang baik guna mencapai akhlak mulia anak.
Penanaman akhlak sangat dipentingkan dalam pendidikan anak, sifat malu yang
kelihatan pada anak merupakan langkah pertama menuju ke arah kesempurnaan dan
berfikir.[44]
Metode
pendidikan akhlak pada anak dapat dilakukan dengan taqdim al-takhali an
al-akhlaq al-mazmumah suma al-tahalibi al-akhlaq al-mahmudah.[45],
yakni dalam membawakan ajaran moral atau al-akhlaq al-mahmudah adalah
dengan jalan takhalli (mengosongkan atau meninggalkan) al-akhlaq
al-mazmumah (akhlak yang tercela), kemudian takhalli (mengisi atau
melaksanakan) al-akhlaq al-mahmumah (akhlak yang terpuji)[46].
Dalam
membawakan ajaran moral itu dapat dilakukan juga dengan memberikan nasihat dan
berdo’a “Bismillah al-rahman al-rahim al-hamdulilahi al-lazi hadana ila
makanim al-akhlaq.[47]
Dalam pengajaran akhlak harus menjadikan iman sebagai fondasi dan sumbernya.
Iman sebagai nikmat besar yang menjadikan manusia bisa meraih kebahagiaan dunia
akhirat.
Adapun
cara mensyukurinya adalah dengan melaksanakan amal shalih (al-akhlak
al-mahmudah) dan meninggalkan maksiat. Landasan pokok dari akhlak Islam adalah
iman, yaitu iman kepada Allah SWT, sehingga memiliki moral face (kekuatan
moral) yang sangat kuat. Iman inilah merupakan batu fondasi bagi berdirinya
bangunan akhlak Islam. Metode lain dalam pendidikan akhlak adalah dengan cara
langsung dan dengan cara tidak langsung.
Dengan
Cara Langsung
Nabi Muhammad
SAW itu sebagai muallim al-nas al-khair, yakni sebagai guru yang
terbaik. Oleh karena itu, dalam menyampaikan materi ajaran-ajarannya di bidang
akhlak secara langsung dapat dengan menggunakan ayat-ayat al-qur’an dan
al-hadits tentang akhlak dari Nabi Muhammad. Dengan ayat-ayat al-qur’an
al-hadits tentang akhlak secara langsung itu ditempuh oleh Islam untuk
membawakan ajaran-ajaran akhlaknya, maka wajib atas tiap makhluk mengikuti
perintah Allah SWT dan Rasul-Nya.[48]
Dengan
Cara Tidak Langsung
Dalam
menyampaikan ajaran-ajaran akhlaknya juga dapat menggunakan cara yang tidak
langsung yaitu dengan cara menceritakan kisah-kisah yang mengandung nilai-nilai
akhlak dengan membiasakan anak atau latihan-latihan peribadatan.[49]
Dengan
demikian dalam mengajarkan akhlak terutama kepada anak, dengan memberkan
nasihat kepada anak agar menjauhkan akhlak tercela, kemudian mengisi,
melaksanakan akhlak terpuji. Jadi metode pembinaan akhlak yang dimulai sejak
usia dini dan pembinaan tersebut merupakan tugas dan tanggung jawab ayah dan
ibu atau orang tua terhadap anaknya. Metode tersebut dapat diringkas sebagai
berikut:
1. Orang tua harus mendidik dan membina
anak, juga mengajarkan kepadanya berbagai akhlak terpuji, serta menjauhkan diri
dari teman-teman yang buruk.
2. Orang tua harus mengetahui perkara
pertama yang amat disukai anak adalah rakus terhadap makanan. Oleh karena itu,
anak harus mendapatkan pelajaran bahwa tatkala hendak makan ia harus menyebut
nama Allah dan makan dengan menggunakan tangan kanan, juga dijelaskan bahwa
makan sampai terlalu kenyang adalah perbuatan buruk dan tercela.
3. Orang tua tidak dibenarkan memarahi atau
menghukum anak lantaran melakukan kesalahan kecil apapun.
4. Orang tua berkewajiban melarang anak
membiasakan diri tidur di pagi hari dan pada jam-jam kerja.
5. Orang tua harus melarang anak bersikap
sombong dan angkuh terhadap teman-temannya, serta mendidik agar anak
membiasakan diri bersikap ramah dan rendah hati.
6. Anak harus dibiasakan memberi, bukan
menerima atau mengambil, sekalipun dalam keadaan sempit dan serba kekurangan.
7. Anak harus dilarang melakukan sebagian
perbuatan tercela, seperti meludah dan menguap di hadapan orang.
8. Membiasakan anak untuk tidak banyak
berbicara, dan hanya berbicara sebatas keperluan saja.
9. Membiasakan anak agar tabah dan sabar
dalam menghadapi berbagai peristiwa setelah selesai belajar, sehingga ia
memiliki semangat untuk belajar kembali.
10. Mengizinkan anak untuk bermain dan
beristirahat.
11. Anak harus dicegah agar tidak mencuri
atau menggunakan harta benda milik orang lain dan berbagai perbuatan tercela
lainnya.
12. Tatkala anak mencapai usia mumayyiz,
hendaklah ia diajari berbagai masalah dan norma agama.
[1] H. Samsul
Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis Teoritis dan Praktis (Jakarta:
Ciputat Press, 2002), hlm. 25.
[2] Ramayulis,
Ilmu Pendidikan Islam, Cet III (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), hlm. 29.
[3] Miftahul
Huda, Idealitas Pendidikan Anak (Tafsir Tematik QS. Luqman) (Malang: UIN
Malang Press, 2009), hlm. 19.
[4] Ibid., hlm. 20.
[5] Hasan
Langgulung, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam (Bandung:
Al-Ma’arif, 1995), hlm. 131.
[6] Mansur, Diskursus
Pendidikan Islam (Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2001), hlm. 38.
[7] Fuad
Hasan, Selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Sambutan Mendikbud pada
Rakernas Dep. Kerohanian DPP Golkar, Jakarta: 2 Maret 1987.
[8] Zakiah
Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hlm. 28.
[9] H. Abudin
Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (Jakarta: Rajawali Perss, 2004), hlm.
36.
[10] Hafizh
Dasuki, dkk, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Barulin & Beve,
1994), hlm. 241.
[11] Mansur, op.cit.,
hlm. 90.
[12] Syaikh
Ibrahim Mahmud, Kisah Oeang-oeang Sholeh dalam Mendidik Anak (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2007), hlm. 34.
[13] Ibid., hlm. 24.
[14] Hendrik Lim. Anak dan
Media (Kuasailah Media Sebelum Anak Anda Dikuasai) (Jakarta: Elexmedia
Komputindo, 2008), hlm. 54.
[15] Maimunah
Hasan, Pendidikan Anak Usia Dini (Yogyakarta: Diva Press, 2001), hlm. 16.
[16] Muhammad
Athiyah Al-Abrasyi, Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1993),
hlm. 103
[17] Arif Armai, Pengantar
Ilmu dan Metodologi Islam (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 19.
[18] H.M. Arifin, op.cit., hlm. 18.
[19] Kartini Kartono, Tinjauan
Holistik Mengenai Tujuan Pendidikan Nasional (Jakarta: Pradnya Paramita,
1997), hlm. 72.
[20] Ibid., hlm. 73.
[21] Maimunah Hasan, PAUD
(Pendidikan Anak Usia Dini) (Jakarta: Diva Press, 2001), hlm. 14.
[22] Miftahul Huda dan M.
Idris, Nalar Pendidikan Anak (Yogyakarta: Ar-Rizz Media, 2008), hlm.
181.
[23] Departemen Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahan (Semarang: Tanjung Mas Inti, 192), hlm. 951.
[24] Miftahul Huda dan M. Idris, op.cit., hlm. 71.
[25] Abi Isa Muhammad bin Isa bin Sunnah, Al-Jami
al-Shohih Sunan At-Turmudzi, Juz 5
(Beirut: Dar Al-Ilmiyah, tth), hlm. 38.
[26] M. Fauzi Rahman, Islamic
Parenting (Jakarta: Erlangga, 2011), hlm. 4.
[27] Quraish Shihab, Sejarah Ulum al-Qur’an (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 39.
[28] M. Thalib, 40
Tanggung jawab orang tua Terhadap Anak (Bandung: Irsyad Baitus Salam,
1995), h, 9
[29] Ramdyan Sasongko, Menggali
dan Mengoptimalkan Kecerdasan Anak (Yogyakarta: Panji Pustaka, 2009), hlm.
155.
[30] M. Fauzi Rahman, op.cit.,
hlm. 12.
[31] Ahmad Syarifudin, Mendidik
Anak Membaca, Menulis dan Mencintai al-Qur’an (Jakarta: Gema Insani Press,
2004), hlm. 67.
[32] Ibid., hlm. 81.
[33] Hannan Athiyah
Ath-Thuri, Mendidik Anak Perempuan di Masa Kanak-kanak (Jakarta: Amzah,
2007), hlm.1.
[34] Al-Mubarak Utsman Ahmad,
Tarbiyah Al Alad wa Al-Aba’ (Jakarta: Pustaka Anjani, 1997), hlm.149m
[35] Hasan Athiyah, op.cit, hlm.2.
[36] Al-Mubarak, op.cit.
hlm. 152.
[37] M. Nur Abdul Hafizh, Mendidik
Anak Bersama Rasulullah (Bandung: Al-Bayan, 2000), hlm. 150.
[38] Muhammad Zuhari, Pentingnya
Pendidikan Islam Sejak Dini (Jakarta: A.H Ba’dilah Press, 2002), hlm. 70.
[39] Ibid, hlm. 72.
[40]. Mohammad Daud Ali, Pendidikan
Agama Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada 206) hlm. 346.
[41] M. Nur Abdul Hafizh, op.cit,
h. 178
[42]. Mansur, op. cit,
h. 285
[43]. Mansur, op. cit,
h. 285
[44] Azyumardi Azra, Esai-esai
Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999),
hlm. 84.
[45] Sayid Usman, Fath
al-Bal Li Tahsin al-Zan (Jakarta: Pustaka Amani, 1899), hlm. 1.
[46] Ibid, hlm. 2.
[47] Ibid, h. 5
[48] Mansur, op.,cit,
h.258
[49] Ibid, h.264